Siang ini rasanya begitu panas, apalagi bus yang biasanya sepi sekarang penuh dan sesak. Rasanya untuk menggerakkan tubuh atau menikmati lagu dari handphone ku saja aku enggan. Daripada melihat jejeran manusia yang terjebak dalam bus ini, aku lebih suka memandangi jalanan yang penuh akan mobil-mobil mewah, tidak ada motor yang berlalu lalang disini. Tentu saja, ini jalan tol yang hanya bisa dilewati kendaraan sekurang-kurangnya memiliki roda empat.
Aku menghela nafas lelah, mengganti fokusku pada jendela bus melihat hamparan bukit yang dibelah menjadi jalanan yang sekarang kulewati. Ya, aku adalah penikmat alam, menyukai pantai dan gunung, tapi tidak bisa berenang dan belum pernah mendaki. Aku tidak bisa berenang karena sedari kecil aku tidak pernah berlatih berenang, nanti ketika aku punya banyak uang, aku ingin bisa diving di karimunjawa, "haha mimpi kamu Nad," batinku menertawakan diriku sendiri.
"Nad, sudah hampir sampai. Barang yang tadi dibawa jangan sampai ketinggalan," peringat seseorang yang saat ini duduk bersebelahan denganku.
"Ah iya, aku cuma bawa satu tas, aman," tak lupa jempolku mengacung ke arahnya disertai senyum lebar.
"Berarti aku yang harus siap-siap. Aku bawa makanan khas Jogja buat Bunda di rumah, sama jajan banyak buat kakak," sahutnya sambil sibuk mengambil tas jinjing yang ada di dekat kakinya.
Aku membantunya membawa barang bawaannya yang menurutku, emm sedikit mungkin, sedikit banyak. Ya seperti itulah, hanya sedikit saja. Gadis dengan barang bawaannya yang sedikit banyak ini bernama Kiky Ardina, sahabatku dari lahir sampai umur kami berkepala dua, ya kami berdua sudah dua puluh tahun. Kami bukan lagi remaja yang haha hihi di bangku sekolah. Kami sudah memilih jalan masing-masing, entah kebetulan atau tidak. Dua tahun lalu, gadis yang menjadi primadona di tempat tinggalku ini, tiba-tiba sudah ada di Jogja, menghubungiku lewat sosial media untuk segera bertemu di titik nol Jogja.
"Terboyo, terboyo. Terminal terboyo," suara kernet bus menyadarkanku. Segera beranjak dan berbaris rapi di tengah bus dengan sabar.
Aku dan Kiky berjalan turun lalu menuju pinggir jalan Universitas Islam Sultan Agung dekat dengan Terminal Terboyo. Kiky nampak sibuk dengan handphone nya, mungkin sedang menghubungi Ayahnya yang sudah biasa menjemputnya ketika pulang seperti ini. Kalau aku jangan ditanya, aku putri tunggal dari kedua orang tua buruh, yang memiliki mimpi besar agar anaknya bisa meraih gelar sarjana. Jadi di siang hari seperti ini, bapak dan ibuk pasti masih bekerja. Meskipun ini mendekati hari raya, dan pabrik sudah mulai diliburkan mereka masih saja bekerja serabutan, untuk mengisi jajanan di meja katanya.
"Nad, aku sudah dijemput Ayah, aku duluan ya," sentakan tangan menyadarkanku ke dunia nyata, Kiky menyambar tas jinjing yang dibawanya dari Jogja. Aku hanya mengangguk dan tersenyum getir, Kiky tetaplah Kiky, selalu percaya diri dan mungkin tidak punya rasa sungkan. Inilah perbedaanku dengan Kiky, si wanita cantik dari keluarga kaya di tempat tinggalku. Dia lebih suka bekerja ketika ayahnya memaksa untuk kuliah, dia yang selalu dapat kiriman padahal sudah menghasilkan uang dari bekerja dan dia yang selalu dijemput ketika pulang.
Beberapa kali aku mendengar perbandingan-perbandingan dari para tetangga, menurutku itu wajar karena kami yang bersama sedari kecil hingga dewasa, hanya terpisah ketika menempuh sekolah menengah atas. Kiky yang lebih memilih kejuruan dan aku yang melanjutkan di sekolah negeri. Kadang aku hanya menganggap omongan tetangga sebagai angin lalu, tapi semakin kesini kenapa seakan makin menyesakkan, menghimpit dada lalu berakhir dengan helaan yang begitu panjang. Aku selalu resah ketika pulang ke Semarang, rasa senang dan takut bercampur menjadi satu, senang karena akan bertemu bapak dan ibuk, takut akan omongan tetangga yang semakin menjadi-jadi. Kapan perbandingan-perbandingan ini akan usai?
Itu dulu yaaa wkwkwk, padahal ngga tau ini ada yang baca atau tidak. Karena nulisku random, alias yang ada di kepala asal tulis aja. Jadiiii maapin kalau masi berantakan yaa
Terima kasih manusia
KAMU SEDANG MEMBACA
Skala Perbandingan
General Fiction"Seperti titik dua, bersisian tetapi selalu saja dibandingkan. Bukankah keduanya tak ada yang lebih besar ataupun lebih kecil? Keduanya sama besarnya, seperti kita sama besarnya dengan kelebihan dan kekurangan yang ada di dalamnya." -Nadira Kusuma D...