Bab 9

9 3 0
                                    

Hari minggu kali ini, aku hanya rebahan di kamar kos, baju kotor sudah aku cuci kemarin waktu Laura pamit pulang, karena hari ini dirinya harus beribadah ke gereja. Tugas yang awalnya menumpuk juga sudah aku kerjakan bersama Laura jumat malam kemarin.

"Suntuk, enaknya ngapain ya?" Monologku pada diriku sendiri. Terbesit ide untuk ke kamar Mbak Aisyah, aku segera turun dari ranjang kamar, menuju kamar yang memiliki stiker A, siapa lagi kalau bukan kamar Mbak Aisyah. Aku ketuk dengan pelan sambil memanggil nama Mbak Aisyah, meskipun aku dekat dengan Mbak Aisyah, tetapi unggah-ungguh tetap nomor satu seperti pesan Ibuk. Lama tidak ada jawaban, hingga kamar seberang terdengar membuka pintu.

"Mbak Aisyah lagi keluar, kayaknya kerja kelompok Mbak Nad," ucap perempuan yang notabenenya adalah adik tingkatku. Orangnya sedikit cuek, sesekali menyapaku ketika aku hendak keluar kos. Mendengar ucapannya aku mengangguk dan tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih. Setelahnya aku masuk ke kamar kembali.

"Mau nyetrika, bajunya belum kering, yang di lemari udah setrikaan semua," gerutuku ketika sampai ke kamar. Mataku menelisik kesana kemari berharap menemukan sesuatu yang bisa menghilangkan kesuntukanku.

"Apa main handphone aja ya? Tidak, nanti pengeluaranmu makin banyak Nad, inget Bapak sama Ibuk kerja mati-matian bukan buat kamu main handphone aja."

"Kalau ngulas materi, tadi malem udah. Terus ngapain? Ini masih jam sembilan, Ibuk bilang tidak baik tidur di waktu pagi," ucapku frustasi, lalu duduk di dekat meja yang berisi tumpukan buku. Tak sengaja mataku melihat tumpukan novel yang belum semuanya aku baca.

"Kenapa tidak lihat dari tadi, baca novel aja mending," aku segera mengambil buku kedua setelah Rindu.

Jujur saja, entah kenapa dari Jogja ke Semarang sampai Jogja lagi aku tak mengubah susunan novel-novel milik Kak Haidar. Setelah Rindu yang kutamatkan, aku mengambil buku ke dua yang ada di bawah novel Rindu.
Aku beranjak dari kursi menuju ke kasur, membaca dengan serius novel yang kupegang saat ini. Aku terbawa cerita yang ditulis oleh Tereliye, tulisannya tidak pernah gagal menghipnotis diriku. Sampai bunyi kaca yang diketuk mengganggu pendengaranku. Aku menoleh ke samping, ada Kak Haidar yang sedang berada di luar kosku. Aku terkejut, tapi mungkin Kak Haidar hanya melihatnya samar. Kaca di kosku memang seperti itu, bisa melihat dengan jelas yang ada diluar, tetapi yang diluar harus ekstra dekat supaya bisa melihat isi di dalam ruangan.

Aku sangat malu, kata Ibuk tidak baik laki-laki mengintip perempuan. Kak Haidar tadi boleh kumasukkan ke golongan mengintip kan. Menurutku memang mengintip, karena tidak mungkin beliau mengetuk tanpa tau ada orangnya atau tidak. Aku bergegas untuk ke halaman kos, disana aku menemukan Kak Haidar yang tersenyum ramah.

"Loh, kukira tadi ngga ada orang. Aku cuma iseng tadi, eh ada orangnya," ucap Kak Haidar diiringi dengan kekehan pelan. Aku tersadar, berarti dugaanku tadi salah besar.

"Ada apa ya?" Tanyaku tanpa menyebut atau memanggil namanya.

"Pasti Laura udah bilang semuanya kan? Aku ngga memaksa kamu Nadi, kalau hati kamu suka aku bakalan seneng. Kalau kamu memang ngga suka aku, aku juga bakalan seneng, karena sudah pernah mengenal kamu," terang Kak Haidar.

"Emm itu ...," belum sempat aku bicara Kak Haidar sudah memotong ucapanku. "Omongan Laura ngga usah terlalu dipikirkan Nadi," ucapnya lagi. Aku baru tersadar, manusia di depanku ini memanggilku nadi. Nadi, masih namaku, tapi itu bukan panggilanku. Nadi, aku bukan urat nadi.

Setelah Kak Haidar berbicara aku bingung mau menanggapi apa, jujur saja perkataan Laura tak terlalu mengganggu pikiranku. Justru permintaan Kiky yang rasanya terus menghantuiku, bagaimana tidak, hampir setiap hari Kiky menghubungiku lewat handphone. Kiky menanyakan kapan dirinya bisa bertemu dengan Kak Haidar.

Terima kasih manusia

Skala PerbandinganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang