Bulan sabit muncul di langit malam ini, menemani aku yang masih termenung sampai tengah malam, membaca novel yang dipinjamkan Kak Haidar kepadaku. Jujur saja, aku baru akan menyelesaikan buku karangan Tereliye berjudul Rindu, setiap hendak fokus membaca Ibuk pasti memanggilku. Mendekati hari raya kemarin, keluargaku memang sibuk sekali, baik Bapak maupun Ibuk.
Setiap melihat tumpukan novel ini, aku bukannya mengingat Kak Haidar, aku cukup sadar diri untuk mengagumi apalagi jatuh hati dengan orang kaya. Setiap melihat novel-novel ini yang kufikirkan hanya satu, bagaimana caranya aku mempertemukan Kak Haidar dan Kiky? lalu apa penjelasanku nanti ketika Lauren tau. Sungguh ini suatu yang terlalu berat untukku, seperti diapit dua dinding yang begitu tinggi, disatu sisi ada Kiky dengan keegoisan yang yaah cukup tinggi, di satu sisi ada Lauren yang mengagumi Kak Haidar sedari masuk kuliah.
"Apa aku tolak saja permintaan Kiky ya? Sungguh ini memberatkan, belum lagi tugas kuliah menanti setelah hari raya," gumamku sendirian masih menatap langit malam.
Aku hendak menutup jendela kamarku, tapi tak sengaja aku menjatuhkan novel yang berada paling atas, ya novel Rindu karangan Tereliye. Aku terdiam lalu menunduk berniat mengambil novel, hingga atensiku beralih pada lipatan kertas kecil berwarna biru yang nampak kontras di samping novel.
"Hai nadi?" Aku mengeja pelan dengan kening mengernyit heran, apa maksudnya tulisan ini. 'Hai nadi' dengan huruf kapital dan ya garis panjang setelah kata 'hai', seperti menghubungkan antara 'hai' dan 'nadi'.
Aku membuka segera lipatannya, "bolehkah aku mengenalmu?" Aku membacanya pelan, tunggu dulu ini kertas milik siapa, rasanya tidak mungkin ini milik Kak Haidar, bukan aku langsung percaya diri bahwa itu untukku, aku masih sangat sadar diri untuk bisa dekat dengan Kak Haidar, aku masih menggunakan logika untuk ini. Meskipun yaah aku cukup kagum dengan sosoknya, Lauren sering menceritakan kelakuan dan sifat-sifat Kak Haidar yang menurutku baik dan mengangumkan.
"Siapa yang menulis di kertas ini, hai nadi dan mengenal. Apa sewaktu membaca Kak Haidar tiba-tiba ingin mengenal denyut nadinya sendiri? Tidak, itu terlalu konyol, tapi kalau surat ini untukku, bukankah Kak Haidar sudah mengenalku?" Aku sibuk bertanya sendiri sambil duduk diatas ranjang.
"Oke lipat kembali kertasnya, atur bukunya Nadira. Lalu tutup jendelanya, hari ini sudah terlalu berat untuk mentalmu. Mari beristirahat tubuhku, aku sayang aku," ini kebiasaanku, mengucapkan sayang pada diri sendiri setiap hendak beristirahat. Jika hariku memang berat sekali, aku bahkan memeluk diriku sendiri dengan erat, ya anak tunggal memang sulit sekali untuk bercerita dengan orang lain. Bercerita dengan Bapak dan Ibuk rasanya aku egois sekali, selalu membuat Bapak dan Ibuk gelisah.
Hari ini memang berat sekali, berdampingan dengan Kiky membuat mentalku tak baik-baik saja, perbandingan para tetangga untuk kami selalu terdengar. Kiky selalu tersenyum bangga ketika dipuji, dan aku siap untuk memaksakan senyuman. Seringkali aku berprasangka buruk pada Kiky, apa ini tujuannya berteman denganku, apa ini tujuannya selalu kekeh mengajakku bepergian atau sekedar pulang dari Jogja ke Semarang.
Aku selalu bilang pada Ibuk, Kiky itu tidak memberiku dampak yang baik, justru memperburuk. Dia membuatku susah percaya dengan orang lain, kurang percaya diri, dan tentunya membuatku stress ketika berdekatan dengannya. Perbandingan-perbandingan ini sungguh memuakkan.
Terima kasih kepada yang sudah membaca
Terima kasih manusia ♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
Skala Perbandingan
General Fiction"Seperti titik dua, bersisian tetapi selalu saja dibandingkan. Bukankah keduanya tak ada yang lebih besar ataupun lebih kecil? Keduanya sama besarnya, seperti kita sama besarnya dengan kelebihan dan kekurangan yang ada di dalamnya." -Nadira Kusuma D...