Bab 3

17 3 1
                                    


Suara takbir terus bergema, anak kecil berlarian kesana kemari berpakaian rapi disertai peci. Hari ini, hari kemenangan bagi mereka yang sudah berpuasa sebulan penuh lamanya. Para orang tua menyudahi kegiatan memasaknya, bersiap untuk segera ke masjid melaksanakan sholat bersama, begitupun Bapak, Ibuk, dan aku, kami bertiga memakai baju dengan warna sama hasil jahitan ibuk, berjalan kaki bersama menuju masjid desa.

Berbicara soal baju, aku jadi mengingat kejadian dua hari lalu, malam sekali Kiky tiba-tiba bertamu mengajak pergi untuk membeli jajanan di daerah kami. Sebenarnya aku sudah tau kalau tujuannya bukan untuk membeli jajanan, tetapi hendak menanyakan sesuatu.

Malam itu, ibuk tidak mengizinkanku untuk pergi, sudah terlalu malam, meskipun bulan puasa dan jalanan masih ramai karena mendekati hari raya, ibuk tetap melarang. Akhirnya aku mengajak Kiky untuk duduk di kamar, ya anak umur dua puluhan seperti kami memang tidak suka pembicaraannya didengarkan para orang tua.

Sedari Kiky datang, aku sudah menebak bahwa ia akan menanyakan hal yang sama ketika perjalanan dari Jogja ke Semarang. Kiky bertanya mengenai laki-laki yang mengantarku ke terminal, lebih tepatnya bertanya soal Kak Haidar. Kiky bertanya mulai dari umur Kak Haidar, darimana ia berasal, sampai jurusannya pun ditanyakan. Aku menjawab setahuku saja, bahkan sampai saat ini aku tidak tau apa jurusan yang diambil Kak Haidar di universitas.

Aku dan Kiky berbincang cukup lama, sampai dimana Kiky memaksaku untuk mengenalkan dengan Kak Haidar, menyempatkan hari libur untuk bertemu di titik nol Jogja, ini salah satu sifat Kiky, pemaksa dan harus dituruti.

Aku menghembuskan nafas panjang, sepertinya akan sulit sekali untuk melakukan keinginan Kiky, aku hanya kenal dengan Kak Haidar tidak begitu dekat.

"Kenapa nduk? Ada tugas dari dosen? Kok nafasnya panjang banget, kayak banyak pikiran?" tanya Ibuk yang ternyata memperhatikanku sedari tadi. Kadang aku ingin bilang pada Ibuk, aku capek pura-pura baik sama orang, aku ingin membenci tapi nasihat Ibuk selalu saja menghantui.

"Mboten Buk, mikirin novel yang aku baca tadi malam," aku menjawab dengan gelengan pelan. Membohongi Ibuk supaya tidak khawatir. Entah kenapa sedari dulu setiap aku mengeluh tentang Kiky aku pasti menangis dihadapan Bapak dan Ibuk. Aku tidak menceritakan semua kegundahanku, karena aku tahu mereka lebih gundah memikirkan biaya kuliahku dan keberlangsungan hidup kami.

Kami sudah hampir sampai di masjid, semakin dekat dengan masjid, orang-orang pun semakin ramai. Para ibu-ibu yang berjalan dengan segerombolannya terdengar membahas remaja-remaja yang ada di desa kami. Aku adalah satu-satunya anak buruh yang berkuliah di desa ini, yang lainnya anak pejabat hingga perangkat desa.

"Itu si Kiky kok sekarang makin cantik ya. Kemarin mau dilamar anakku, tapj belum siap katanya, masih mau menikmati kerja di Jogja," ujar ibu-ibu yang berjarak tiga meter dariku. Tapi aku masih cukup untuk mendengarnya, suara takbir di masjid yang semakin dekat membuat ibu-ibu tadi berbicara setengah teriak.

"Kenapa tidak melamar itu yang temennya Kiky, yang kuliahnya di Jogja anaknya Bu Rusmi sama Pak Ramdi bu," sahut ibu-ibu yang lain dengan kekehannya, terdengar mengejek bagiku. Ah mungkin aku yang terlalu sensitif.

"Oh Nadira, Nadira itu ya. Tidak cocok itu sama anaknya Bu Sarah, anaknya buruh mana cocok sama anaknya perangkat desa. Kalau Kiky kan bapaknya masih perangkat desa disini," sahut ibu yang lain. Disusul tawa segerombolan ibu-ibu yang berjumlah sekitar enam orang.

Aku melirik Ibuk yang ada di sampingku, aku yakin Ibuk mendengarnya apalagi Bapak yang ada di belakang kami, menggiring dua bidadari cantiknya agar aman katanya. Pasti sangat sakit rasanya, tempat ini selalu saja bisa menumpuk rasa sakit dihatiku, tak hanya sedikit tapi sudah banyak, atau mungkin sudah banyak sekali.

Sedari kecil aku sudah merasakan ini, seringkali aku mencoba menjauhi Kiky, tapi dia seakan terus mendekat. Jujur saja, aku tidak kuat jika selalu dibandingkan, Kiky yang cantik, Kiky yang tidak kuliah tapi memilih bekerja padahal orang tuanya perangkat desa, Kiky yang hendak dilamar banyak pemuda di desa ini, Kiky yang sempurna yang selalu mereka lihat. Sedangkan aku hanya seperti upik abu dimata mereka, salahkah jika aku sedikit saja membenci mereka? luka-luka ini belum ada penyembuhnya bahkan semakin sakit dan menjadi trauma ketika kakiku menginjak di desa ini.

NB : Italic itu flashback, oke

Terima kasih manusia

Skala PerbandinganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang