Aku berjalan menyusuri koridor untuk segera masuk ke kelasku, hari ini aku ada kelas pagi. Yaa senin dan kelas pagi, sangat menjengkelkan bukan bagi mereka para mahasiswa. Tapi tidak bagiku, entah senin ataupun minggu sekalipun, aku tetap semangat, itu pesan Ibuk.
"Nduk, jadi perempuan itu tugasnya banyak, makanya dibiasakan bangun pagi. Kalah perlu sebelum ayam berkokok," aku tersenyum ketika mengingatnya, ah aku jadi rindu Ibuk, padahal belum ada satu bulan aku disini.
Kelas baru berisi beberapa orang saja, aku memasuki kelas dan duduk di bangku nomer dua dari depan. Ini bangku paling aman menurutku, tidak depan sekali, ataupun terlalu di belakang. Aku duduk lalu menaruh tote bag serta buku tebalku diatas meja kecil yang bersambung dengan kursi yang aku duduki. Baru saja aku mau menoleh ke arah jendela untuk melihat pemandangan Jogja dari lantai tiga ini, ada seseorang yang menepuk bahuku.
"Nad, emang bener ya kamu lagi deket sama kahim Psikologi?" Tanya teman sekelasku, aku terkejut bukan main. Sejak kapan manusia ini sudah duduk di sampingku, padahal belum ada lima menit aku duduk disini.
"Kahim Psikologi siapa sih Nat?" Tanyaku keheranan, kahim Psikologi memangnya siapa, aku ini mahasiswa manajemen, satu fakultas saja aku kurang tau, apalagi anak fakultas lain.
"Itu lho yang satu SMA sama aku sama Laura juga," tuturnya. Kenapa Natasya tak menjelaskan secara rinci, membuatku berfikir kembali. Satu SMA dengan Laura, apa mungkin, "oh Feby? Aku tidak dekat dengan Feby, cuma kenal aja," jawabku santai.
"Sabaar Natasya, sabaaar," ucap Natasya sambil mengelus dadanya. Aku yang melihatnya makin heran apa jawabanku salah ya.
"Ini loh Nad," belum sempat Natasya memperlihatkan sesuatu dari handphone nya. Laura sudah menegur, ia baru saja datang dengan dandanan ayu. "Nat minggir, aku mau duduk disini," ucap Laura dengan nada ketus, seperti itulah Laura ketika dengan orang lain. Padahal Natasya satu sekolah dengannya dulu, tapi Laura tetap seperti itu, katanya ia tidak kenal Natasya sewaktu sekolah dulu. Maklum sekolah di Jakarta memang besar, jadi susah untuk menghafal satu per satu orang, apalagi menghafal kenal saja sudah bersyukur.
Setelah dua jam lebih aku memfokuskan diri, menahan untuk tidak bertanya pada Laura siapa kahim Psikologi, akhirnya aku bisa menanyakannya ketika dosen sudah keluar ruangan.
"Ra, kamu tau kahim Psikologi? Emangnya siapa? Natasya tadi nanya, aku lagi deket sama kahim Psikologi atau tidak. Feby kahim Psikologi ya?" Tanyaku tanpa henti sambil membereskan buku yang ada di meja.
"Feby mana ada suka ikut organisasi Nad, kumpul anak Jakarta aja dia males. Aku ngga kenal kahim Psikologi, udahlah ngga usah dipikirin," ujar Laura.
Laura keluar ruangan terlebih dahulu, dan aku menyusulnya dari belakang. Aku hendak ke perpustakaan, karena mau mengirit uang bulanan dari Ibuk.
"Ra aku ke perpustakaan ya, mau baca novel," Laura berhenti sejenak, lalu berbalik ke arahku. "Ngga ke kantin? Kenapa? Ayo jajan bareng aja," ujar Laura sudah menggenggam tanganku.
Ada yang aneh, Laura memang pemaksa, tapi biasanya dia menunggu jawabanku dulu, baru akan mendebatku. Tapi sekarang, belum juga aku menjawabnya ia sudah menyeretku ke kantin.
"Itu si cewek yang difoto itukan,"
"Lah kok sama Laura, ngga cemburu dia ya,"
"Si Laura mau baikin saingannya kali,"
Aku mendengar suara-suara itu di kantin, yang di foto memangnya siapa. Apa aku? cuma aku yang sekarang duduk satu meja dengan Laura. Terus apa tadi, cemburu saingan. Sebenarnya ada apa ini? Kenapa hari ini semua orang membuatku memikirkan banyak hal.
Terima kasih kepada yang sudah membaca
Jangan lupa vote dan comment ya 👍
KAMU SEDANG MEMBACA
Skala Perbandingan
Ficción General"Seperti titik dua, bersisian tetapi selalu saja dibandingkan. Bukankah keduanya tak ada yang lebih besar ataupun lebih kecil? Keduanya sama besarnya, seperti kita sama besarnya dengan kelebihan dan kekurangan yang ada di dalamnya." -Nadira Kusuma D...