Aku masih menangis sesenggukan dihadapan Bapak dan Ibuk, entah kenapa setiap hari raya aku selalu saja menangis sehabis meminta maaf pada Bapak dan Ibuk. Rasanya masih banyak sekali kesalahan yang kulakukan dan menyusahkan orang tuaku, ditambah lagi tadi pagi ada omongan tidak mengenakkan dari tetangga.
"Nduk, ini kenapa kok malah makin jadi nangisnya?" tanya Ibuk sambil mengelus pelan kepalaku yang berada di pangkuannya. Aku masih saja sesenggukan, untuk menjawab Ibuk rasanya sulit sekali, hanya gelengan pelan yang rasanya tidak berarti apa-apa.
"Nduk, omongan orang itu jangan terlalu didengarkan, kritik yang membangun kita gunakan untuk evaluasi diri. Kritik yang menjatuhkan biarkan menjadi angin lalu," nasihat Ibuk yang masih mengelus kepalaku.
"Begitupun Bapak dan Ibuk, ambil yang baik saja dari kami ini, yang buruk jangan dipergunakan lagi. Nanti kalau anak kesayangan Bapak sudah memiliki anak, bisa mengevaluasi dan lebih memperbaiki cara mendidik anak. Nad, anaknya Bapak dan Ibuk, jadi orang tua itu tidak ada sekolahnya. Kalau Bapak dan Ibuk masih banyak salah dimaafkan ya," itu suara Bapak yang ikut mengelus bahuku pelan.
Ah selalu saja, cinta pertamaku ini selalu bisa membuatku menangis kencang. Bagaimana bisa mereka meminta maaf kepadaku kalau makan saja harus mengirit demi anaknya bisa tetap makan di negeri perantauan. Andai saja tangisku bisa reda dengan tiba-tiba, aku ingin bilang kepada Bapak dan Ibuk, kasih sayang mereka sudah lebih dari cukup. Rasanya aku ingin bekerja saja supaya mereka bisa menikmati hari tua di rumah kecil kami, tertawa bersama berbincang di pagi hari sambil meminum teh. Tapi tidak bisa, ini bukan hanya tentang egoku saja, tetapi tentang impian Bapak dan Ibuk yang ingin anaknya bisa menjadi sarjana.
"Assalamualaikum," suara ramai terdengar di pintu rumah kami, aku segera pergi masuk ke dalam kamar, karena aku tau wajahku pasti sudah sembab saat ini.
Beberapa tamu sudah datang silih berganti, aku sudah bersiap mencuci muka agar tidak terlihat sembab. Ikut duduk dengan Bapak dan Ibuk di kursi ruang tamu. Aku biasanya berkeliling bersama Bapak dan Ibuk ke rumah-rumah tetangga, seperti yang kukatakan, rasa takutku lebih mendominasi ketika pulang ke rumah. Lingkungan ini tidak terlalu cocok untuk diriku yang punya mental lemah sepertiku.
"Assalamualaikum Nadira, yuk keliling bareng sama aku," suara perempuan mengusik telingaku, aku mengenali suara dan nada bicaranya, pasti Kiky. Tak lama dia muncul di pintu, berjalan anggun menuju Bapak dan Ibuk untuk bersalaman dan saling memaafkan.
Kiky duduk sebentar, tidak mencicipi satu pun jajanan kami yang ada di meja, tak apa mungkin dia sudah makan banyak dari rumahnya. Setelah duduk sebentar Kiky begitu semangat menarikku untuk keluar rumah, aku yakin pasti ada sesuatu, Kiky jarang sekali mengajakku keliling bersama hingga semangat seperti ini.
"Nad, abis jalan dari rumah tetangga mampir ke rumahku ya. Kita bahas kakak tingkatmu di kamarku," putusnya final tanpa meminta persetujuanku. Aku sudah menduga kalau dia ingin menanyakan soal Kak Haidar, lagi.
Aku dan Kiky menyusuri rumah-rumah yang ada di kelurahan kami. Jujur saja, aku selalu tidak nyaman ketika berjalan dengan Kiky, dia cantik, anak perangkat desa, dan sudah tentu kecantikannya membuat semua lelaki tertarik dengannya dan ibu-ibu mengantri ingin menjadikannya menantu.
Sudah sedari dulu, kami selalu saja dibandingkan, Kiky yang memang tidak mengerti perasaan orang lain, akan selalu menceritakan pujian dari orang-orang sampai ia lelah dengan sendirinya. Aku tidak iri, tapi sungguh perbandingan ini terlalu menyesakkan ketika terdengar oleh telingaku, kenapa tingkat kesuksesan dan babak final setiap orang seakan harus disama ratakan. Bukankah setiap waktu ada orangnya, setiap orang ada waktunya.
Kepada yang sudah membaca :
Terima kasih manusia ♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
Skala Perbandingan
General Fiction"Seperti titik dua, bersisian tetapi selalu saja dibandingkan. Bukankah keduanya tak ada yang lebih besar ataupun lebih kecil? Keduanya sama besarnya, seperti kita sama besarnya dengan kelebihan dan kekurangan yang ada di dalamnya." -Nadira Kusuma D...