"Aku lelah semesta,"Nadira
Aku duduk di salah satu kursi yang menghiasa jalanan Malioboro, menunggu seseorang yang memaksaku datang kemari. Aku tidak menolak, padahal dua hari lalu ketika Laura mengajakku kesini aku menolaknya. Aku duduk tenang memandangi jalanan seberang yang ramai akan orang-orang, ada yang sedang memilih baju batik, ada juga yang hendak menaiki becak. Seperti itulah, kondisi Malioboro saat ini.
"Semoga Nadira cepet sukses, bisa belikan Bapak Ibuk baju batik khas Jogja yang berkualitas, aamiiin," gumamku pelan.
Sudah lebih dari lima belas menit aku duduk disini, setelah turun dari trans Jogja aku langsung duduk di kursi-kursi yang menurutku unik, khas Malioboro sekali. Aku tak berniat melihat lihat barang ataupun jajanan disini, bukan karena tidak tertarik. Tapi aku mengingatkan diri, saku dari rumah harus cukup sampai akhir bulan.
"Nad, udah lama? Maaf ya aku tadi ketiduran," ujar seseorang yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Selalu seperti ini, dia yang mengajakku bertemu dia juga yang telat datang. Aku hanya mengangguk, lalu menatap kembali jalanan yang semakin ramai, Malioboro memang semakin padat jika hari semakin sore.
"Jadi gimana, aku udah bisa ketemu sama laki-laki itu?" Tanya seseorang disampingku, lagi. Dia yang paling bersemangat saat ini, sedang aku merasa bertambah beban ketika menemui dirinya.
Sebenarnya bisa saja aku menolak untuk bertemu, tapi aku tidak bisa. Pernah aku menolak keinginannya tanpa alasan yang jelas, karena waktu itu hari minggu dimana aku libur kuliah. Setelah aku menolaknya, bukan apa-apa, Ibuk tiba-tiba menghubungiku menanyai kabarku, dan menasehatiku untuk baik kepada Kiky. Ya, seseorang disampingku ini Kiky, seseorang yang rasanya punya kendali akan hidupku sendiri.
"Ky, aku sebenarnya tidak terlalu dekat dengan Kak Haidar, jadi tunggu ya sampai aku bisa menyampaikan dengan baik, kalau ada seseorang yang ingin bertemu dengannya," ucapku pelan tanpa menghadap ke arahnya.
"Alah, pasti alasan kan kamu. Kalau tidak dekat kenapa waktu itu diantar sampai terminal, kalau kamu suka Kak Haidar itu ngomong Nad," ucapnya marah, aku menggeleng kasar. Aku tidak suka dengan Kak Haidar, hanya kagum, iya kagum itu saja.
"Waktu itu, Trans Jogja udah lewat yang rute terminal, kalau aku tidak cepat berangkat nanti ketinggalan bus, dan tidak bisa bareng kamu. Kak Haidar yang kebetulan lewat menawari aku, ceritanya seperti itu Ky," jelasku padanya, kali ini aku menatap wajahnya. Ia berdecak kecil, aku melihatnya, seolah masih tak percaya dengan perkataanku. Akhirnya dia hanya menjawab dengan dengan gumaman.
Kiky bilang ia tidak bisa lama-lama, hanya berpesan untuk segera dipertemukan dengan Kak Haidar. Aku menghembuskan nafas lelah, kenapa rasanya hidupku tidak bisa tenang. Entah di rumah ataupun di perantauan tetap saja bayang-bayang Kiky mengikutiku. Ini alasanku tidak menyukai berita Kiky yang bekerja di Jogja, aku memilih kuliah di luar kota untuk menghindarinya. Tapi kenyataan seolah menamparku tanpa ampun.
Jika di kampung aku selalu dibandingkan oleh tetangga, disini aku dihantui dengan keinginan Kiky yang rasanya mutlak sekali. Jika di kampung aku bisa saja tidak mengeluh, hanya butuh tutup telinga. Meski hati rasanya sakit, tapi aku bisa menahannya, karena di rumah ada dua sosok pahlawanku. Mereka tidak boleh melihatku lemah. Tapi disini, aku kadang menangis sepuasnya, karena hanya di kota ini orang-orang tak banyak yang mengenalku.
Mataku menatap senja yang nampak anggun, aku hanya melihat warnanya sedikit saja, tidak penuh karena tertutup oleh bangunan. Air mataku meleleh, aku menunduk sebentar pura-pura kelilipan agar tidak dilihat orang-orang. Ya aku lelah dengan semua ini, aku lelah semesta.
Terima kasih kepada yang sudah membaca
Jangan lupa vote dan komen 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Skala Perbandingan
General Fiction"Seperti titik dua, bersisian tetapi selalu saja dibandingkan. Bukankah keduanya tak ada yang lebih besar ataupun lebih kecil? Keduanya sama besarnya, seperti kita sama besarnya dengan kelebihan dan kekurangan yang ada di dalamnya." -Nadira Kusuma D...