27. Dua Tujuh

77.5K 12.8K 857
                                    

Cahya dan Rival sama-sama duduk diam di dalam kelas menunggu hujan reda. Gara-gara ledekan para siswa tadi membuat mereka malu lalu langsung masuk ke kelas. Lagian sih Rival kalo ngomong gak dipikir-pikir dulu.

"Malu nggak?" tanya Cahya melirik sinis Rival.

Rival menggeleng. "Lo kan tau gue nggak punya malu."

"Astaga!"

Rival cengengesan. Ia menatap hujan turun lewat jendela dengan pandangan cemas. Ia khawatir hujan tidak akan reda. Membuat kepulangan mereka ditunda bahkan sampai malam, karena hari ini sudah sore.

"Lo laper gak?" tanya Rival dijawab gelengan oleh Cahya.

Sialnya, perut keroncongan Cahya berbunyi nyaring tanda minta diisi. Rival menahan tawanya mendengar itu, sedangkan muka Cahya memerah malu.

Dasar cacing nggak bisa diajak kompromi!

"Laper nggak? Laperlah masa enggak! Perut memang tidak bisa berbohong," ujar Rival lalu tertawa.

"Diem!" sentak Cahya sambil memukul punggung Rival.

Mata Rival menatap jam rolex yang melingkar di pergelangan tangannya. Ternyata sudah jam lima sore. Ia beralih menatap Cahya lagi.

"Laper ya? Kantin yu makan, mau ga?" tawar Rival mencoba menjadi cowok yang peka. Pertanyaan itu dijawab gelengan oleh Cahya.

"Mau pulang," rengek Cahya sambil bergelayut manja di lengan Rival.

Jangan ditanya seperti apa jantung Rival saat ini, sudah pasti jedag-jedug tidak karuan. Pertama kalinya Cahya bertingkah seperti ini sambil mengeluarkan nada rengekan. Itu seperti keajaiban.

"Kan hujan, Sayang. Gimana pulangnya hm?" sahut Rival menggunakan nada lembut sambil tangannya bergerak mengusap rambut Cahya penuh kasih sayang.

"Lo kesurupan apa? Tumben manis banget ngomongnya."

Astaga.

Rival menatap malas cewek yang tidak bisa diajak romantis ini.

"Oke ralat. Kan hujan. Gimana pulangnya?! Mau basah kuyup di jalan ha?!" Rival langsung ngegas.

"Nah, kalo gini berarti setannya udah keluar." Cahya cengengesan. Menggelikan mendengar Rival memanggilnya sayang, walaupun ada rasa bahagianya sedikit sih.

"Lo kapan beli mobil, dah? Biar kita nggak kehujanan."

"Papa Reynald kan lagi ngehukum gue gara-gara tawuran kemaren. Lagian enakan naik motor, biar bisa nikmatin sejuknya angin."

"Halah! Enakan naik motor karena biar bisa gue peluk kan? Gue tau modus lo kali."

Rival terkekeh. Benar juga, ia suka naik motor karena lucu mengerjai Cahya ketika kebut-kebutan dan juga bahagia ketika dengan paksa dipeluk cewek itu.

Dering notifikasi pesan terdengar dari ponsel Rival. Dengan cepat Rival langsung membukanya. Matanya berbinar ketika melihat pesan WhatsApp bodyguard papanya memberitahukan bahwa sudah ada mobil di depan sekolah sesuai permintaan Rival. Iya, tadi Rival mengirimi pesan papanya agar mengirim mobil karena di sekolah hujan deras. Tak sampai setengah jam, mobil sudah sampai. Bahkan tadi papanya malah menawari untuk dijemput pakai helikopter. Papa Reynald emang bukan maen.

"Ayo pulang!" ajak Rival sambil berdiri dari duduknya. Tangannya terulur untuk mengajak Cahya.

"Kan masih hujan."

"Ayo, nggak usah protes. Nanti lo kelaperan juga. Nurut kek."

Cahya menerima uluran tangan Rival lalu berdiri. Di luar hujan masih deras. Keduanya jalan berdampingan sambil tangannya saling menggenggam menyalurkan kehangatan. Banyak siswa-siswi yang meledeknya, tapi Rival maupun Cahya tak peduli.

RIVAL (UP BAB BARU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang