Seung Ah melirik wanita yang mengantri di sampingnya lalu terkikik geli dalam hati sambil membatin,
menggunakan warna terang atau bahkan spot light sekalipun tidak apa-apa, asal jangan dari ujung kepala hingga kaki. Bisa-bisa ada yang mengira kau salah satu anggota teletubbies, lagi.Ah, usil sekali ya Seung Ah ini.
Antrian di sebuah restoran fast food siang itu cukup mengular, padahal meja kasir sudah di buka tiga buah.
Sambil mengetuk-ngetuk sepatu flatnya, Seung Ah kembali asik memperhatikan neon sign menu di atas meja kasir dan sibuk memilih-milih mana menu yang akan ia beli. Tak lama kantong celana chinonya bergetar. Ponselnya berbunyi.
Di layar ponsel terpampang wajah Ji Hoon sebagai caller ID yang sedang menjulurkan lidahnya sambil mengangkat sesuatu dengan gaya mencubit. Wajah Seung Ah seketika mendekat pada layar ponsel itu sambil berfikir, itu benda apa ya hitam bertotol-totol pink dengan banyak tali? Sepertinya familiar sekali?
Sebentar
......
......
jangan-jangan....
"AAAAAARGGGG!" tanpa sadar Seung Ah menjerit seketika di tengah antrian restoran fast food tadi tanpa bisa mengalihkan pandangannya pada ponselnya tersebut. Hampir saja ia membanting alat komunikasi canggih digenggamannya kalau saja Seung Ah tidak ingat kalau ponselnya masih baru.
Orang-orang di sekitar Seung Ah jelas terkejut. Beberapa memasang raut wajah kesal pada Seung Ah sambil mengeleng-geleng karena kaget. Bahkan seorang anak kecil di meja makan dekat kasir menangis histeris mungkin karena terkejut.
Ibunya kini sedang berusaha menenangkan sang anak itu sambil menatap Seung Ah dengan sorot pandang paling mematikan sedunia.
Mungkin jika Ibu itu adalah sebuah robot, jenis pandangan seperti itulah yang dapat mengeluarkan sinar laser.Seung Ah tak peduli. Segera ia mengeser telunjuk kanannya pada layar ponselnya sambil buru-buru keluar dari antrian. Selera makan siangnya menguap seketika.
"Hey otak agar-agar! Dari mana kau menemukan... G-stringku~?" semprot Seung Ah begitu ada jawaban dari seseorang di ujung telepon.

Walaupun kata 'G-String' sengaja ia pelankan takut ada yang mendengar.
"Hahahahaha...rupanya kau baru melihat avatar caller ID-ku pada ponselmu, ya? Itukan ngomong-ngomong sudah satu minggu aku ubah. Kau baru sadar sekarang?" Terdengar suara menjengkelkan dari seberang sana dengan nada santai.
"YAAAA! Kau memang manusia paling brengsek dan menyebalkan, Ji Hoon! AAARRGGG" Seung Ah kesal setengah mati pada Ji Hoon hingga hanya bisa berteriak sambil mendekatkan speaker ponselnya ke mulut.
Prakkk!
Ji Hoon seketika menjatuhkan ponsel lipat bututnya demi teriakan Seung Ah barusan. Ponselnya meluncur deras menghantam permukaan semen yang keras di pinggir lapangan basket dekat apartemennya.
Hancur berantakan adalah kejutan kedua setelah telinganya sedikit berdengung akibat teriakan Seung Ah dari ujung telepon sedetik lalu.
Sambil menggoyangkan jari telunjuknya pada lubang telinga yang pengang itu, Ia berjongkok terpekur, sebentar kemudian dengan perlahan memunguti sisa-sisa ponselnya yang kini sudah terpencar-pencar. Tombol keypadnya lepas. Tutup batereinya mencelat jauh, dan baterai ponselnya sedikit penyok. Yang paling parah, flipnya patah. Resmi sudah ponsel itu kini pensiun dari kegunaannya.
Ji Hoon memang sudah berniat untuk mengganti ponselnya yang sudah sangat ketinggalan jaman itu dengan yang baru hanya agar bisa lebih sering menggoda Seung Ah lewat instant messenger yang sedang populer akhir-akhir ini – semacam kakao talk atau Line – tapi tidak dengan cara seperti ini. Rusak berantakan dan tidak berbentuk lagi. Ji Hoon sedikit sedih karena bagaimanapun, itu benda terakhir kenang-kenangan dari Nunanya, Mirae.
Di ujung sana, Seung Ah. buru-buru mencari pintu stasiun subway terdekat dari restoran fast food tadi. Ia ingin sesegera mungkin kembali ke apartemennya untuk menemui Ji Hoon, lalu memukul kepalanya dan (kalau mungkin) melipat-lipat tubuh Ji Hoon hingga ukuran sekecil mungkin.
Seung Ah sedikit berlari-lari kecil menuruni anak tangga karena tulisan LED di pembatas kaca pintu masuk kereta subway sudah berkedip-kedip (menandakan kereta segera tiba). Setelah berhasil masuk ke dalam kereta subway, ia mencari tempat berdiri yang nyaman karena ternyata keretanya cukup penuh.
Sambil berpegangan pada handle grip, Seung Ah tak habis pikir, bagaimana Ji Hoon dapat menemukan G-String yang hanya ia pakai sekali-kalinya karena penasaran dengan salah satu artikel dari majalah dewasa yang ia baca tentang pengaruh pakaian dalam seksi terhadap kelanggengan suatu hubungan.
Itupun hanya ia kenakan 5 menit dan di dalam kamar mandi seorang diri tanpa berniat menunjukannya pada siapapun. Ia melepaskannya buru-buru karena perasaan tidak nyaman ketika melihat dirinya dalam pantulan cermin.'Tapi waktu itu aku cukup seksi sih. S line-ku nampak terlihat jelas. Tidak kalah dengan yang ada di ilustrasi majalah itu, hihihi'.
Tanpa sadar, Seung Ah terkikik sendiri membayangkan dirinya dengan G-string tadi. Sebentar kemudian ia tersadar dan bergidik sambil mengeleng-gelengkan kepalanya lau mengacak-ngacak poninya dengan kesal.
Kakek-kakek yang kebetulan duduk di hadapannya memandang Seung Ah dengan tatapan tajam, sebentar kemudian kakek itu berdeham panjang sambil membuang pandangannya dari Seung Ah.
Seung Ah yang sadar bahwa 'dehaman' tersebut itu ditujukan untuknya hanya meringis sambil perlahan mengempit tote bagnya dan menggeser posisinya sedikit menjauh dari hadapan kakek itu.
'Sial! gara-gara si otak agar-agar itu, sekarang ada yang menyangka diriku tidak waras' gumam Seung Ah kesal.
***
Di pelataran apartemen, Seung Ah mendapati sosok Ji Hoon sedang memantul-mantulkan bola basket sambil berjalan perlahan menuju pintu gedung apartemen.
Matahari garang tepat di ubun-ubun membuat bayangan Ji Hoon yang sebenarnya tinggi itu serupa gumpalan hitam di dekat kakinya.
"YAAA! Manusia gila! Diam di tempatmu!"
Seung Ah tergopoh-gopong menghampiri Ji Hoon sambil memberi gestur menggulung lengan bajunya tana marah. Padahal hari itu ia menggunakan blus tanpa lengan.
Pria itu berhenti dan berbalik menatap Seung Ah yang bergerak cepat mendekat ke arahnya.
Ji Hoon hampir melompat mundur sembari mendekap bola basketnya.
"Ya! Pyeontaeya! (mesum) Berhenti mengutak-atik barang-barangku!" Tangan Seung Ah mendorong bahu Ji Hoon dengan kesal.
"Tapi...tapi G-string itu ku temukan di lipatan jok sofa apartemenmu, kok. Aku tidak sengaja menemukannya" jawab Ji Hoon tak bersemangat.
"Di sofa apartemenku?" Seung A tertegun sejenak sambil mengingat-ingat, apa iya dia tanpa sengaja meninggalkannya di situ?.
"Kau kelihatannya masih sangat muda, tapi daya ingatmu lebih lemah dari nenekku"
Setelah berucap kalimat tadi, Ji Hoon berbalik arah kembali ke dalam apartement dan meninggalkan Seung Ah yang masih berpikir.
Di bawah sorot matahari nanar, Seung Ah dapat melihat punggung Ji Hoon yang berbalut kaos abu-abu tanpa lengan telah basah oleh keringat. Otot-otot bicepnya terukir jelas. Dengan sulur-sulur uratnya yang tegas menghias hingga lengan bawahnya. Semua tampak berkilau, terima kasih kepada keringat dan Matahari.
Tumben, mengapa anak itu tidak terlihat gembira seperti anak anjing yang bertemu majikannya? Ada apa sih?' Seung Ah membatin.
Kemarahanya sedikit mereda, terganti oleh perasaan kebingungan.Walaupun sekilas, Ia tadi dapat melihat bahwa Ji Hoon terlihat sedang sedih.
Ji Hoon bersedih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Explicit Love Story [On Going]
FanfictionJi hoon buru-buru menanggalkan kaosnya sembarangan di depan Seung Ah lalu menyambar kemeja tadi. Seung Ah pura-pura cuek sambil terus menekuni majalah di hadapannya. Setidaknya itu yang dilihat Ji Hoon, padahal sejak Ji hoon membuka kaosnya, Seung A...