Rencana

6 2 0
                                    

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar 🤗
Happy Reading


Hujan masih bertahan. Hari mulai beranjak petang. Dan lagi lagi mereka terjebak hujan lebat yang menjadi rutinitas kota.

Tidak ada yang membuka suara di dalam basecamp. Hanya pasang pasang mata yang saling mendongak melihat atap atap.

Mengerti keadaan menjadi sedikit canggung akibat kejadian tadi pagi, Gea mencoba membuka suara.

"Em, kalian tidak ingin membicarakan masalah perdamaian itukah?"

"Entahlah. Rasanya malas sekali berdamai dengan mereka," Jawab Meli.

"Tapi ada baiknya kita terima usulan Gea. Kali saja kita bisa mendapatkan wilayah kita kembali. Setidaknya bisa lebih adil dari sekarang," Dita ikut mengimbuhi.

Renata hanya mengangguk setuju. Walau dalam hati ia merasa ini sangatlah berlebihan. Mereka terlalu lembut dalam bertindak.

"Aku saja yang datang kesana. Sama Bobi," Celetuk Aldi bersamaan dengan suara petir di luar.

"Siap bos. Serahin lah sama kita. Kita janji bakalan sehangat mungkin."

"Apanya yang hangat, Bob?" Pertanyaan sarkastik keluar dari mulut Renata.

"Heh! Kau mahh..." Bobi memalingkan wajah malu malu.

Semua anak tersenyum di dalam basecamp kecuali Renata. Ia masih asyik dengan ukulele dan nada nada yang ia mainkan.

"Kapan kita berdua kesana?" Tanya Aldi.

Semuanya tampak berpikir. Dita mencoba mencari jawaban pada Gea. Nampaknya Gea juga sedang menimang nimang waktu yang tepat.

"Nanti malam saja,"

Itu suara Renata. Ia mengatakan tanpa mendongakkan kepala. Terdengar ringan namun Gea tersenyum lantas mengangguk setuju.

"Kalau tidak berhasil?" Amel mulai was was. Ia mengerti betul bagaimana sikap dan kelakuan Dera bersama komplotannya.

Mengambil hati mereka tidak semudah mengambil hati bocah. Hati mereka seperti terbuat dari batu yang membutuhkan waktu lama untuk diluluhkan.

"Bunuh mereka!" Ketus Renata.

Gea hanya menggeleng. Sedangkan Dita mengkode supaya tetap tenang. Mereka harusnya tahu bagaimana sikap dingin Renata.

************

Gadis kecil manis itu berdiri di depan jendela. Jendela yang basah karena titik titik air hujan menempel di kaca kacanya. Pandangan matanya sayu.

Ia baru saja dikejutkan dengan surat perceraian. Walaupun usianya masih terlalu dini untuk tahu, tapi ia bisa membaca tulisan itu dengan jelas. Apa maksud surat bermap hijau yang tergelatak di ruang tengah.

Ceklekkk....

Pintu kamar yang terbuka. Menampilkan sosok pria dengan setelan formal lengkap masuk ke dalam kamar.

"Kenapa kau masih disini? Harusnya kau ikut ibu barumu menyiapkan segala keperluan pernikahan."

Lili masih terus terdiam. Ia mendengar suara ayahnya dengan jelas. Tapi ia enggan untuk berkata kata. Dia benar benar kecewa.

Merenungi nasibnya. Kenapa ia tidak ikut saja dengan kakaknya dan ibunya. Kenapa ia malah terjebak di rumah gelap ini bersama ayah dan seorang wanita yang tak lebih dari jalang.

"Li..."

"Tak bisakah ayah mengubah keputusan?" Lili memotong ucapan itu dengan suara lirih namun menusuk.

On The Traffic✓ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang