Bising Kereta

6 2 0
                                    

Enjoyed

Azan asar terdengar berkumandang dari saung saung dalam perkampungan. Atau masjid masjid pinggir jalan raya yang padat kendaraan. Bagai tiada lelah dan habis segala aktivitas manusia manusia muka bumi. Mereka yang mencari kepuasan, mereka yang menghidupi keluarga bahkan mereka yang berusaha membalas jasa orang tua.

Gea belum jua mendapatkan tempat tinggal untuk ibu dan dirinya. Kaki itu masih setia dengan sepatu hitam bertali putih menjejali jejalanan setapak yang tak putus putus.

Seragam SMP masih melekat di tubuhnya yang kecil. Tidak mengurangi rasa letih sedetikpun. Beruntung saja. Hujan tidak lekas lekas mengguyur kota. Bisa dengan leluasa mereka melangkah mencari tempat untuk tinggal setidaknya untuk tidur nanti malam.

Langkah mereka terhenti di dekat saung. Di dalam suatu perkampungan dekat rel kerta api. Terlalu banyak rumah susun dikarenakan lahan yang sudah sempit dengan populasi penduduk yang makin padat.

"Solat dulu, bu" senyum Gea pada ibunya.

Wanita itu hanya mengangguk lalu mengelus sayang rambut Gea. Gea perlahan duduk di tangga pertama yang dibawahnya bertuliskan 'Batas Suci'. Gea melepas sepatunya. Dengan harapan setelah solat ia akan menemukan tempat untuk tidur nanti malam.

Air dari pam itu mengguyur wajahnya. Wajah yang lelah dan sedikir merasa sakit akibat pukulan tadi. Air itu terasa hangat. Maklum, udara hari ini menang sedikit terik. Menjadikan air air lewat keran itu terasa hangat walau jam sudah berputar sampai angka 3.
Suara sirene kereta api yang lewat di bawah pemukiman ini terdengar. Bising. Sejauh ini Gea sangat jarang mendengar suara kereta api yang lewat di sekitar kompleks rumahnya. Kompleks tempat tinggal Gea dahulu jauh dari rel kereta api. Tapi Gea harus mulai terbiasa. Bercokol dengan bising kendaraan dan sebagainya.

Dengan balutan mukena putih, anak ibu itu solat berjamaah dengan jemaah lain. Seakan benar benar minta diberi jalan keluar. Tidak ada kekuatan selain dari Nya. Tiada penolong yang sesungguhnya selain Dia. Bersujud dalam waktu yang tak lama. Berkisar kurang lebih 10 menit.

Gea menengadahkan tangan. Memejamkan mata seraya berdoa dalam hati. Ibunya pun melakukan hal serupa. Bahkan air mata itu terus menetes dari netra wanita itu. Gea yang selesai terlebih dahulu, hanya bisa memandang perih ibu disampignya. Hatinya tersentak. Tidak tega melihat keadaan ini. Tidak mau rasa sakit ini terus berlanjut.

Perlahan Gea menyentuh pundak wanita yang ia sebut ibu itu. Menggigit bibir bawahnya mencoba meredam isak.

"Gea" lembut suara ibunya, membuat Gea terlonjak.

Mendongak dari ketertundukan lalu menatap mata ibunya dengan senyum yang ia paksakan.

"Jangan menangis ibu. Kita bisa"

Jatuh ke pelukan ibunya. Gea benar benar mencoba memeluk ibunya dan menghentikan tangisan di wajah itu. Dipeluk sedemikian hangat dengan usapan jemari jemari menyentuh pipi, membuat wanita itu seakan mendapat kekuatan. Tersenyum dan mengangguk mantap dengan tulus. Mengecup kepala Gea yang masih terselimut mukena dengan sayang.

Gea memejamkan mata dan ikut tersenyum kala melihat lengkungan di bibir ibunya. Semua akan baik baik saja. Pasti akan ada jalan. Jika memang ini yang harus dilewati mengapa kita harus meratapi? Kita harus melaluinya, tidak perlu takut dengan lolongan. Tidak perlu takut dengan kekejaman yang diberikan dunia. Kita sempurna, dan kita pasti bisa.




Gimana nih sama kehidupan Gea selanjutnya?
Next part ya?
Vote and comment🤗❤
Makasih yang udah ikutin terus🙏

On The Traffic✓ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang