"Aku setuju dengan apa yang dikatan Renata..."
"Maksudnya??"
Gea mulai ingin berucap sesuai dengan apa yang ia pikirkan. Mungkin itu sama dengan Renata.
"Renata hanya kurang menjelaskan alasannya. Makanya kalian jadi bingung. Aku mencoba mengatakan apa yang dimaksud Renata,"
"Gimana,Ge? Apa kita salah??" Bobi bertanya takut takut.
"Nggak ada yang nyalahin kalian. Anggap aja hari itu bukan keberuntungan kalian. Em tapi coba kita pikir sekarang. Kita dirugikan sama perjanjian itu."
"Dari segi pendapatan, jelas mereka yang mendapatkan banyak hasil. Dapetin uang di dalam pasar sama di jalanan itu lebih gampang di dalam pasar. Dari segi bahaya, pernah kalian liat pedagang pasar kena razia? Enggak kan?"
"Tapi kita di jalanan, luntang lantung, bahkan kita nggak bisa bersembunyi di dalam pasar kalo lagi dikejar petugas. Padahal pasar adalah tempat teraman kita. Bukanya gitu?"
"Mereka banyak mendapatkan keuntungan. Lantai atas itu, bisa mereka gunakan sebagai basecamp, dan kadang kejahatan mereka nggak bisa dicium dengan mudah, karena mereka ada di dalam pasar."
"Pantas saja Renata marah. Kita benar benar salah." Bobi mulai menyadari sesuatu.
Semua mengangguk serempak. Gea dapat melihat sorot mata lesu dari mereka. Padahal jam istirahat sudah selesai.
"Tapi apa kita nggak bisa ngubah apapun??" Tanya Dita.
"Kita emang nggak bisa mbalikin waktu. Tapi kita bisa perbaiki keadaan. Seenggaknya kita harus meminimalisir pengejaran petugas,"
Usul Gea benar benar masuk akal. Semua menyetujuinya.
"Kita bahas ini nanti. Ayo kita ngamen lagi,"
Satu per satu bangkit. Seakan mereka tahu kesalahan mereka dimana. Belum ada cara menyelesaikannya.
Tapi setidaknya mereka memiliki jalan keluar untuk masalah berbulan bulan ini. Permasalahan yang membuat Renata geram. Dan gemar sekali membuat onar dengan geng Dera.
**********
"Yang kalian ceritain bener,"
"Soal apa bos?"
"Anak baru ekoran si Renata itu. Dia ke wilayah kita tadi siang."
"Mau cari ribut??"
"Apapun itu. Firasat gue bilang nggak enak. Gue liat dari matanya. Dia anak baru tapi bisa jadi masalah besar." Mata Dera menerawang sesuatu.
Seperti mengorek sesuatu dalam memorinya. Bibir hitamnya terselip sebatang rokok yang diapit lentik dengan jari tengah dan telunjuknya.
Kepulan asap keluar dari hidung dan mulutnya. Beberapa dari mereka menatap Dera bingung. Pasalnya, bos mereka tidak pernah seperti ini. Memikirkan sesuatu terlalu serius.
"Kenapa sampai segitunya? Bos nggak pernah mikirin. Rasanya masa bodoh gitu. Tapi sekarang? Sebahaya itukah? Gue pengen liat gimana orangnya. Jadi penasaran,"
Ucapan anak bercat rambut warna pirang itu disetujui semua anak. Suara dentingan botol botol miras terdengar. Segerombolan preman memasuki lantai yang sama.
"Heh!!" Teriak Dera pada mereka.
Preman preman itu menoleh pada Dera dan kawananya. Mereka terbiasa berbagi tempat bersama di lantai pasar ini.
Awalnya mereka menolak dalam satu tempat. Tapi setelah beradu argumen dan segala kekuatan, mereka menyerah satu sama lain.
Preman preman itu berjumlah 5 sampai 8 orang. Sedangkan gerombolan Dera lebih dari itu. Dikeroyok dalam keadaan mabuk, siapapun pasti akan limbung dan tersungkur.
"Sini!!" Teriak Dera lagi.
Salah seorang diantara mereka mendekat. Berjalan limbung dengan tawa tawa mengerikan tak jelas. Botol minuman yang masih terus ia tenteng.
"Kenapa?" Tanya lelaki berbadan besar itu dengan suara berat.
"Pengen duit nggak?" Dera tak basa basi lagi.
"Heh wanita jalang! Lo ngomong soal duit?? Siapa si yang nggak mau? Orang tolol yang nggak mau duit! Hahaha!!"
Dera menyesap kembali rokok yang tinggal setengah. Mengepulkan asap ke sekelilingnya. Menatap preman itu sebentar sebelum menabur uang yang ia ambil dari saku jaket.
Preman itu tertawa bahagia. Seakan mendapatkan hadiah yang tak ternilai harganya. Dengan gugup, ia seperti babu Dera yang memunguti uang uang berserakan di lantai.
Kawanan Dera hanya menyunggingkan senyumnya. Menatap betapa bodohnya pria yang lebih besar dan tua ketimbang mereka. Tapi terperdaya dengan Dera.
"Selidiki anak baru yang ngamen di jalanan stasiun. Gue minta 24 jam untuk tahu semuanya tentang dia. Paham?!" Kata Dera.
Preman itu sedikit mengernyitkan keningnya. Bingung siapa yang dimaksud Dera ini. Tapi ia hanya mengangguk.
"Paham nggak?! Tolol lo!" Dera menonyor kepala botak preman itu.
Dera duduk di meja. Dengan bala tentaranya di kursi sekelilingnya, atau selasaran di lantai. Ada yang di kios kios kosong sekitar Dera duduk.
"Gua paham. Tunggu infonya. Apa perlu gue bunuh??"
"Itu bagian gue. Lu cuma kasih tahu gue siapa dia. Darimana asalnya. Semuanya tentang dia. Gue nggak mau tahu gimanapun caranya!"
"Beres!"
*********
Matahari mulai bergerak ke arah barat. Gea kembali ke dalam basecamp. Berpamitan untuk pulang terlebih dahulu.
Sandiwaranya di depan ibunya masih terus berjalan. Lancar. Sekarang lancar, tapi tidak tahu di kemudian hari.
Ada yang mengatakan, sepintar pintarnya kita menyembunyikan bangkai, maka baunya akan tercium juga. Gea tahu itu. Tapi Gea belum mempersiapkan apa yang akan ia katakan jika hari itu tiba.
Seperti biasa. Gea berbelok ke arah toilet pasar umum di pinggiran. Berganti pakaian seragam dan menggendong tasnya. Tak lupa sepatu dan kaos kaki.
Penampilanya rapih seperti siswa yang baru pulang dari sekolah. Tanpa Gea tahu, seseorang tengah memperhatikan setiap pergerakanya.
Langkahnya ringan menapaki jalanan. Sampai berbelok di gang perkampungan belakang stasiun.
Sampai di gang sempit, Gea menghentikan langkahnya. Seperti ada sesuatu yang mengganjal. Entah itu apa.
Spontan, Gea menoleh ke belakang. Tapi tidak ada satupun yang mencurigakan. Gea berjalan sendirian di gang itu.
Tapi nalurinya berkata lain. Seperti ia tidak sendirian di jalanan ini. Gea berjalan lebih cepat. Bukan karena takut hantu, tapi karena takut pergerakan seseorang yang tak ia ketahui.
Gea mencoba bersembunyi di pertigaan gang. Mencoba mencari tahu siapa yang mengikutinya. Tapi tidak ada seorangpun.
"Mungkin cuma perasaan," Gumamnya.
Langkahnya biasa menyusuri perkampungan lagi. Melewati pintu demi pintu, lalu masuk ke dalam salah satunya. Mengatakan 'Ibu Gea pulang sekolah'.
Kebohongan dan kebohongan. Entah sampai kapan, Gea pun capek menjalaninya. Tapi ini harus.
Jangan lupa tinggalkan jejak ya:)
Next part 👇
Terima kasih banyak ❤️
![](https://img.wattpad.com/cover/246158747-288-k2515.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Traffic✓ [TERBIT]
Fiction généraleDeru kereta di stasiun dan bising lautan kendaraan terasa damai terdengar akhir akhir ini, seperti nyanyian merdu, seperti nada ringan untuk sekedar membuka mata bahwa kenyataan terkadang tak sesuai bayangan dan angan, bahwasanya banyak hal yang dap...