Tinggalkan vote dan komentar ya ❤️
Derap kaki melangkah memasuki gang suatu perkampungan. Gea harus melakukanya. Jika saja tidak, dan dibiarkan lama lama, ia tak tahu kapan ia dan Renata bisa berdamai.
Salah satu harus ada yang mengalah bukan? Hari ini mendung. Semalam hujan turun dengan deras. Ia selalu gelisah saat tidur. Memikirkan kebodohanya, lalu Renata yang memusuhinya.
Gea berhenti di depan rumah berteras. Sedikit lebih besar dari kontrakannya. Menurut Amel, rumah Renata dan Dita disini. Dan ia yakin ini rumah Renata.
Dengan pelan, Gea mengetuk pintu kayu itu. Terlihat begitu sepi. Bahkan kordennya tertutup rapat. Benar apa yang dikatakan Amel dan Meli. Renata seperti mengurung dirinya di dalam rumah.
Tok tok tok
Renata yang sibuk menata beberapa bajunya ke dalam almari, sontak terkejut. Siapa yang mengetuk pintunya siang hari begini?
Pelan, Renata melangkahkan kakinya keluar. Dan bodohnya, ia tak terlebih dahulu mengecek lewat korden. Tapi langsung membuka pintunya.
"Ren..."
Melihat siapa yang ada di balik pintu, Renata cepat menutup pintunya tanpa berpikir panjang. Tapi sebelum pintu itu tertutup rapat, Gea lebih cekatan menahanya.
"Sebentar, Ren. Aku mau bicara, tolong..."
Renata tak menjawabnya. Tak pula berusaha menyerah menutup pintu kayu itu. Gea semakin susah kala tenaga Renata ia yakini lebih kuat ketimbang dirinya.
"Renata, aku mau minta maaf. Tolong, Ren. Kita sahabat. Dengarkan aku dulu..."
Renata menulikan telinganya. Ia baru saja beberapa hari merasa tenang walaupun masih terus berduka. Tapi kali ini lagi dan lagi seseorang mengusiknya.
"Renata... Apa kau mau Dita bersedih dengan pertemanan kita? Bukan ini yang Dita inginkan,bukan?"
Mendengar itu, pertahanan Renata goyah. Ia melepaskan doronganya dari pintu. Membiarkan Gea membuka pintunya lebar lebar.
"Gue nggak punya banyak waktu," Datar Renata.
"Aku datang, aku ingin meminta maaf. Aku anak baru yang tak tahu diri. Aku tahu aku merusak segalanya. Bahkan kau kehilangan seseorang yang begitu berarti..."
Renata bersandar di tembok dan bersedekap. Ia memang tak menatap Gea yang berdiri di ambang pintu. Tapi ia masih mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari mulut Gea.
"Aku tahu dimana kesalahanku, Ren. Aku tidak bermaksud merebut semua yang kau punya. Termasuk Dita. Dita anak yang baik. Dan siapa saja pasti akan merasa nyaman saat berjalan dengannya..."
Gea menunduk dalam.
"Aku menyebabkan semua kekacauan. Bahkan permusuhan kalian dengan Dera. Aku yang memperburuk. Aku minta maaf..."
"Sudah?" Tanya Renata datar.
Mendengar itu, degup jantung Gea berpacu cepat. Hanya begitu tanggapan Renata? Apa dia tak mau memaafkan kesalahannya?
"Oh ya emm..." Gea seakan teringat sesuatu. Bagian yang paling penting.
"Aku tidak ada rasa dengan Aldi. Kami hanya berteman. Kau tak perlu khawatir. Kau jangan berpikir aku penghalang diantara kalian. Kau memiliki banyak kesempatan..."
Entah kenapa ada sesak saat mengatakan itu. Apa karena tak sesuai dengan hatinya? Tapi apa lagi yang harus ia lakukan selain ini?
Kali ini Renata menoleh. Menatap Gea yang masih tertunduk. Namun beberapa detik kemudian, Gea mendongak. Kedua manik itu bertemu.
"Kejar apa yang sesuai dengan hatimu, Ren. Aku tidak seperti apa yang kau kira. Maafkan aku...",
Renata menelan ludahnya kasar. Rasanya tenggorokanya kering.
"Sudah belum?" Tanya Renata.
"Sudah. Aku minta maaf, Renata..."
Suasana hening seketika. Sebelum Renata hendak melangkah masuk lagi ke dalam rumah. Tapi lagi lagi Gea menahan pintu itu.
"Ren... Apa kau tak mau memaafkanku?" Gea benar benar merasa sesak. Sebenci inikah Renata?
"Sudahlah. Aku sudah tak marah. Hanya saja beri aku sedikit ketenangan. Aku ingin sendiri,"
Mendengar perkataan Renata, hati Gea menghangat. Bahkan Renata sudah mengatakan kata 'aku'. Apa dia benar benar memaafkan Gea sekarang?
"Pasti. Aku akan memberikanmu waktu. Aku minta maaf telah mengganggu. Aku juga mau bilang makasih," senyum Gea.
Renata hanya mengangguk. Dengan pelan, ia menutup pintu kayunya. Gea hanya diam. Dia tak lagi menahan pintu itu.
"Kau bohong, Gea. Jelas kau menyukai Aldi. Matamu tak dapat menipuku," lirih Renata dari balik pintu.
Gea membalikkan badanya saat pintu sudah ditutup rapat. Setidaknya Renata mau mendengarkannya, walaupun ada rasa sakit tersendiri.
Aldi memang berbeda. Dan itu membuat Gea kalut antara suka atau tidak. Tapi ia harus menepiskan perasaan ini. Gea hanya ingin pertemananya kembali seperti semula. Seperti saat... Dita masih ada disini.
**********
Dera kembali. Ia baru saja bertemu dengan seorang pria yang usianya terpaut cukup jauh darinya. Bahkan ia sempat berdebat sedikit.
Karena hasil salah sasaran orang itu, ia masih disibukkan dengan kegiatan lain. Ia sendiri yang harus turun tangan. Dera geram bukan main.
"Dera..."
Panggil seorang anak buah Dera menyambut kedatangannya.
"Kenapa?"
"Gawat!"
Dera menghentikan langkahnya. Menatap anak buah yang sekaligus temanya ini dengan penuh tanda tanya.
"Bicara yang jelas!" Bentak Dera. Ia dalam mood yang tak baik sekarang, dan malah dipusingkan dengan perkataan seseorang di depanya yang menggantung.
"Sekawanan polisi datang kemari. Ia mencarimu tadi. Untung saja kau sedang keluar."
Bola mata Dera membulat sempurna.
"Polisi? Mau apa?!"
"Entahlah. Mereka menyamar menjadi pembeli tadi dan langsung menanyakan ke pedagang pedagang tentang dirimu. Bahkan mereka tahu persis dirimu. Seperti ada seseorang yang ikut bergabung bersama mereka dan mengenal kita jauh,"
"Siapa?!"
"Itu masalahnya. Kami tidak tahu siapa tangan kanan polisi polisi ini. Kau harus waspada,"
Dera memijat kepalanya. Ia benar benar frustasi. Jangan sampai ia mendekam di penjara sebelum rencananya terlaksanakan.
"Bilang sama anak anak yang lain. Sebelum polisi lebih jauh menyatroni tempat kita, kita yang terlebih dahulu menyatroni tempat anak itu! Gue nggak mau tahu. Gue pengen anak itu mati malam ini juga!"
"Siap, Ra."
Next part 👇👇
Makasih yang udah mampir sekali lagii ❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Traffic✓ [TERBIT]
Ficção GeralDeru kereta di stasiun dan bising lautan kendaraan terasa damai terdengar akhir akhir ini, seperti nyanyian merdu, seperti nada ringan untuk sekedar membuka mata bahwa kenyataan terkadang tak sesuai bayangan dan angan, bahwasanya banyak hal yang dap...