Broken White

40 4 11
                                    

Asap pekat masih membumbung tinggi ke angkasa, menyelimuti langit dini hari yang kian bertambah kelam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Asap pekat masih membumbung tinggi ke angkasa, menyelimuti langit dini hari yang kian bertambah kelam. Cahaya api di kejauhan membayangi langkahku menjadikan ketakutan, gelisah dan semua perasaan penuh siksaan itu melebur menjadi satu. Aku tidak bisa memelankan langkahku, tidak akan bisa. Tiga gapura sebagai tanda batas dan masuk desa, setidaknya sudah empat atau lima kali ku lewati. Itu artinya aku telah berlari sejauh lima atau enam dusun, lebih barangkali. Adrenalinku abai menghitungnya. Saat ini hanya satu tempat yang harus ku tuju.

Mataku menatap ragu pada hutan jati di depanku, hutan yang selalu didongengkan sebagai tempat angker dan kampung dedemit itu kini hanya berjarak tak lebih dari sejengkal, dari ujung sendal jepitku yang tinggal sebelah. Tak ada alasan untuk berhenti, yang ada hanyalah kesempatan untuk melarikan diri lebih jauh lagi.

Setengah ku pejamkan mata, ku abaikan luka yang menghantam betis dan tulang keringku ketika terjatuh akibat tersandung jalan yang bebatuannya mulai terkelupas dari aspal aspal yang menyatukannya. Persetan dengan kerajaan jin, yang ku tuju adalah kampung pertama setelah hutan ini.

Di kiri dan kanan jalan ada parit yang airnya sedang terisi karena para petani sedang memasuki musim tanam, sedikit tergoda dan ingin memulihkan tenaga, ku teguk habis air yang tak peduli mengandung bakteri atau sisa pestisida. Aku kembali berlari ketika di belakangku sudah mulai terlihat barisan cahaya obor yang jadi alasanku berada di sini. Aku tak bisa meminum air lebih banyak lagi, sedetik lebih lama aku bertahan di sini maka mereka akan segera menemukanku.

Sendalku kini sudah hilang dua – duanya, meninggalkan kaki telanjang dan luka baret di sana sini. Entah keringat ataupun bekas percikan darah, yang membuat bajuku begitu menempel dengan kulit di badanku. Ku abaikan. Apalagi ketika ku rasakan hal itu membuat lariku semakin kencang.

Cahaya mulai terlihat dari rumah rumah warga di ujung jalan, rumah besar bercat hijau muda adalah yang jadi tujuan pelarianku sepanjang belasan kilo meter ini. Semoga seperti kata ibu, di sana aku bisa aman. Setidaknya sampai jemputan datang besok, lusa, atau kapanpun. Aku tidak peduli.

Rumah hijau itu tak memiliki pagar, hanya tanaman setinggi pinggang orang dewasa yang seakan memberinya batas dengan rumah rumah tetangga di sekitarnya. Aku melompatinya dengan sekuat tenaga, tenagaku yang tersisa lebih tepatnya. Dengan sisa nafas juga kesadaran aku membenamkan tubuhku di bawah gabah yang menjadi alas dri kandang ayam yang kosong, membalut dari ujung kaki hingga kepala, bahkan kalau bisa tidak perlu bernafas sama sekali.

"kalian cari siapa?" suara seorang perempuan keluar dari dalam rumah. Menghentikan gerombolan orang yang berhenti di halamannya.

"ibu lihat ada anak kecil lari ke sini, tidak?" satu suara bertanya balik.

"anak? Anak kecil? Anak – anak saya sedang tidur..." kembali suara perempuan tadi menjawab setengah terbata.

"ada apa ini?" tiba – tiba seseorang dengan suara berat dan dalam muncul memecah keributan yang sedang terjadi, seiring dengan deru kendaraannya yang berhenti.

Lelaki dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang