Sebuah Janji

43 4 0
                                    

Berjanjilah, bahwa kelak kau akan jauh lebih bahagia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Berjanjilah, bahwa kelak kau akan jauh lebih bahagia. Karena setauku, kamu layak mendapatkan apa yang tak pernah mampu aku berikan.

...

Ku lipat baju terakhirku dan memasukannya ke dalam ransel, tamu terakhir sudah pergi dan rumah sudah kembali dalam keadaan sepi.

"Ta, sering - seringlah pulang jangan di jakarta terus" mbak reni, kakak iparku yang kini kebagian mengurus rumah peninggalan ibu muncul di pintu dengan tatapan khawatirnya.

"saya usahakan mbak" ku sampirkan ranselku di bahu kemudian berjalan mendekat ke arahnya.

"tujuh hari dan empat puluh harian ibu jangan lupa pulang ya"

Ku jawab dengan anggukan kecil, ku tahu ia pasti hafal betul alasan apa yang membuatku selama ini pergi dari sini dan alasan apa juga yang membuatku tertahan selama beberapa minggu di sini. Mungkin jika bukan karena ibu tak pernah mau aku menginjakkan kaki di rumah ini lagi.

"saya pergi dulu mbak" ku salami ia dan dua keponakanku yang berdiri di belakang tubuhnya.

"gak tunggu mas capri dulu?"

Aku diam mematung di tempatku, konflik bertahun - bertahun itu memang nyatanya tak pernah selesai. Bahkan kepergian ibupun tak pernah mampu memadamkan api yang terus menyala di antara kami berdua.

Mataku menatap sekeliling, tumpukan buku surat yasin yang baru saja dirapikan mbak reni di atas rak buku bekas tamu - tamu yang datang melayat. Beberapa gelas yang masih terisi penuh oleh air karena tak sempat tersentuh oleh para tamu itu. Terakhir mataku terkantuk pada foto keluarga yang menggantung di dinding ruang tengah.

"Ta, yang harus kamu ingat di sini rumahmu, ini sudah jadi bagianmu, kamu tidak usah khawatir mbak pasti akan merawat rumah ini dengan baik sampai nanti kamu berniat untuk menempatinya lagi, ini kuncinya satu bawa ya" ia menggantungkan kunci rumah pada sleting ranselku.

Aku berjalan menuju halaman dan motorku yang terparkir di depan garasi. Dari ujung gang ku lihat mas capri berjalan keluar dari balik pagar rumahnya, cepat ku nyalakan motor dan mengeluarkannya dari halaman. Lalu bergegas pergi menuju arah berlawanan. Aku tahu, ia sudah menunggu kesempatan ini sejak beberapa hari lalu, namun masih tertahan oleh kondisi ibu. Maka dari itu akupun tak mungkin menyia - nyiakannya. Segera aku melarikan diri darinya, dari percakapan yang bisa saja berujung perkelahian babak berikutnya.

Sebagai dua bersaudara, sejak dulu ibu sudah menaruh harapan besar baik padaku atau mas capri. Apalagi sepeninggal ayah dan kami harus melanjutkan hidup. Perbedaan usia kami berdua memang terlampau jauh, namun bukan itu alasan utama kenapa pada akhirnya perang dingin di antara kami berdua terjadi. Orang sekomplek perumahanku sendiri semuanya tahu, aku dan ia di masa lalu adalah dua saudara yang sangat kompak dan sangat dekat. Sampai pada akhirnya ketika lulus SMA, ia menyuruhku mengikuti jejaknya mengabdi pada negara dengan masuk akademi kepolisian dan aku menolak. Ia yang waktu itu sudah jadi perwira sudah siap menanggung semua biaya masuk dan semua keperluan yang ku butuhkan selama berada di akademi. Namun sekali lagi aku menolak. Apalagi sejak ayah tiada, ia merasa bertanggung jawab penuh akan masa depanku. Sesuatu yang ia lupa bahwa aku berhak memutuskan akan seperti apa masa depanku nantinya.

Lelaki dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang