Janji Matahari

24 3 7
                                    

Mencintai dalam diam tak begitu menyakitkan, sampai semesta becandanya keterlaluan. Kakiku lemas dan gemetar, melihat sobekan jurnal pribadiku yang hilang beberapa minggu lalu sudah ditempel di salah satu sudut sekolah yang banyak dilewati oleh siswa yang lainnya.

sebuah tangan menarik kerah kemejaku kasar dan menyeretku menuju arah yang tak ku kenali. aku tak berusaha melawan, ketika mendengar cemoohan itu satu-satu menyayat indera pendengaranku. aku tak peduli lagi.

"hahaha si culun ini gede juga nyalinya.." sebuah pukulan mendarat di pelipisku.

"oh begini ternyata kelakuan siswa favorit" entah basah atau tidak namun aku tau beberapa dari mereka mulai meludah ke arahku.

"you are not belong here.." sergah yang lain. aku tidak tau siapa mereka, entah jagoan sekolah atau memang tidak senang dengan perasaanku yang berbeda.

tubuhku dilempar ke tanah, disusul dengan beberapa tendangan diperutku, sebisa mungkin aku mencoba melindungi kepalaku, dengan rintihan yang tak lagi berupa ciri kesakitan. hanya sebagai sebuah upaya alami dari respon tubuhku.

"HEI"

"cih.. dasar homo" satu lagi percikan air ludah mendarat di wajahku, pening, mual, dan lemas yang bergabung menjadi satu, aku hanya merasakan kini tubuhku diangkat dan berjalan menuju suatu arah. sampai karena tidak terlalu kuat menahan pening, ku rasakan semuanya mulai menghitam dan aku tak ingat apa-apa lagi.

...

sudut mataku mencuri pandang ke atas meja, tempat selembar kertas dengan kepala surat yang memiliki logo sekolahku. tak perlu lagi ku baca, ketika seluruh isinya sudah dijabarkan oleh wali kelas dan guru BK ku dua hari yang lalu. intinya skorsing ini bukan karena sekolah ingin menghukumku, namun atas saran seorang konselor dari puskesmas terdekat, sebagai korban bully aku disarankan untuk istirahat, mengambil jeda bernafas selama beberapa waktu katanya.

surat itu baru sampai di rumah hari ini, di antar oleh seorang satpam sekolah yang memang masih bertetangga denganku. melihatnya sudah terbuka lebar di atas meja makan begitu aku yakin ibu dan kedua kakakku pasti sudah membacanya.

ku cuci sebentar piring bekasku makan, sebelum akhirnya pundakku terasa berat. membuatku melihat ke arah pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang tengah, berdiri kakak nomor duaku sambil berdiri ia menatapku.

"dek, you ok?" namanya kak canti, mahasiswa semester dua, jurusan sastra inggris yang tahun ini berhasil lolos seleksi pemilihan finalis ajang mojang jajaka di kabupaten kami. ia mungkin tak sepintar kakak pertamaku, kak nabila, namun untuk urusan public speaking juga juga kecantikan khas perempuan sunda dengan perpaduan jawanya itu jelas membuatnya lolos seleksi dengan mudah ke ajang tersebut.

aku mengangguk, meskipun tak begitu dekat dengannya, namun kami yang kini tinggal berdua saja di rumah ini, tanpa kak nabila, membuat kami lebih banyak bicara akhir-akhir ini.

"mau cerita?"

"gak apa-apa, kak.. aku baik-baik aja.." ku simpan piring yang baru saja ku cuci ke rak pengeringan, untuk meniriskan air yang membasahinya.

"kebiasaan deh, segala sesuatu suka dipendem sendiri, kakak laporin kak nabila nih, biar tau rasa kamu.."

"yah jangan dong, kasian, dia kan lagi sibuk sama skripsinya.." aku baru dapat kabar beberapa hari yang lalu, ia batal sidang proposal hanya gara-gara dosen pembimbing pendampingnya menemukan kesalahan penempatan titik dan koma.

tiba-tiba kak canti bergeser sedikit dan membiarkan ibu lewat di hadapannya, ibu yang masih mengenakan mukena karena baru selesai solat dan ngaji membawa sesuatu di tangannya. ibu tidak marah dengan kejadian skorsing ini, juga tercecernya agendaku. namun aku tahu helaan nafasnya jadi lebih panjang dan lebih berat beberapa hari ini.

Lelaki dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang