Menangkap Bayangan

106 5 0
                                    

Untungya cinta sejati tidak pernah ditemukan di ketinggian, namun di perjalanan mendaki.

...

Ku tutup buku hasil karya anak keduaku, draft yang ia kirim tujuh bulan lalu kini telah berubah bentuk menjadi kumpulan kertas berwarna putih pucat dan mengeluarkan aroma kayu. Kayu yang terbelah jauh di pedalaman hutan, menurutku.

"dad, berangkat" terdengar dana menutup pintu. Ia sedang ujian tengah semester, sehingga jam tujuh pagi sudah pergi. Ku biarkan pintu tak terkunci....

Ku ulang push up ku hingga beberapa revitisi, keringat mengalir deras mengganti hujan kemarin, tiupan alam setengah badai itu membuat akhir pekan kami berantakan. Acara kumpul berempat akhirnya tidak bisa terlaksana, penerbangan erman dari bali dibatalkan dan lukman terkepung banjir juga kemacetan.

Dana yang memang masih tinggal di sini cukup menyesali apa yang terjadi pada kedua kakaknya, hampir dua tahun yang lalu mereka terakhir bertemu. Tak ada tahun baru, tak ada libur hari raya, waktu rasanya sulit sekali mengumpulkan kami lagi dalam satu meja makan.

"maaf Sara, anak – anak masih sibuk rupanya" gumamku di depan sebuah lukisan minyak yang sebenarnya tidak bisa bergerak. Telah lama fotonya tanggal dari semua ruangan, bagi dana yang kuliah di psikologi menurutnya hal itu tak akan pernah menyembuhkan trauma. Trauma dalam bentuk apapun di hati kami, empat lelaki yang ditinggalkannya.

Sara meninggal empat jam setelah dana lahir, sesuatu yang sampai saat ini tak akan menjadikan bahan untuk dana bersedih. Malah membuat nya menjadikan gagasan – gagasan bagaimana jika saja ada seorang perempuan yang mengurus rumah ini.

Ya dulu rumah ini begitu tak terurus ketika anak – anak masih tinggal di sini dan usia mereka masihlah anak – anak. Tak ada waktu membereskan segala jenis mainan kembali ke dalam kotaknya, tak ada waktu untuk mengecat lagi dinding rumah yang sudah dicorat coret ketika ketiga balita itu tau fungsi spidol, dan tak ada waktu untuk membetulkan saluran air hujan yang tersumbat dedaunan.

Sampai akhirnya satu – satu mereka terbang, bak anak burung meninggalkan sarang....

Erman tinggal di bali, gelar sarjana perhotelannya membuatnya mampu memimpin sebuah hotel bintang lima hanya dalam waktu setengah tahun. Dan sekarang ia sedang merintis private cottage miliknya sendiri di pinggiran sanur. Lukman, si manusia mesin, namun paling puitis. tinggal di daerah industri di luar jakarta. Sebenarnya ia bisa saja tinggal di sini, namun tuntutan profesional pekerjannya membuatnya memilih daerah sebagai tempat tinggal.

Tersisa dana, yang bahkan dalam seminggu aku paling hanya bisa bertemu dengannya dua atau tiga kali paling banyak. Kuliahnya padat, kegiatannya banyak, dan tingkah tidak pernah betah duduk diam tanpa bekerja yang diwariskan ibunya membuatnya jarang sekali berada di rumah. Ia lebih senang bersama komunitasnya, membesarkan LSM dan sebuah perusahaan infomedia kecil – kecilan yang dirintisnya sejak duduk di kelas tiga SMA.

Ku lipat lagi majalah yang sedang ku baca, persiapanku untuk shooting masih beberapa minggu lagi. Tapi rasanya perutku masih belum mau mundur ke belakang lubang sabuk yang biasa membuatnya masih terlihat ramping di usia lima puluhku.

Warna kelabu masih menggantung di langit, sisa hujan semalaman. Mendung juga membawa angin yang meniup gorden pelapis berwarna putih pucat, membuat ujungnya bak menari – nari dipermainkan udara pagi.

"tok tok tok..." terdengar suara ketukan di pintu rumah.

Pukul tujuh lebih, siapa yang bertamu sepagi ini. Ku pastikan hari ini, aku tidak memiliki janji. Aku berjalan menuju ruang tamu sambil mengeringkan badan dari keringat dengan sebuah handuk kecil di tanganku.

Lelaki dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang