Dan Engkau Luka

48 5 5
                                    

Suatu Sore yang Cerah di Penghujung Semester Ganjil. Jakarta, 2008.

Cinta adalah hal paling absurd yang bisa terjadi pada manusia, tak bisa diketahui kapan datang dan perginya, muncul seketika lalu menetap selamanya. Atau tak dianggap sama sekali.

Key dan Nando pamit ke minimarket di pinggir jalan, aku tahu mungkin keduanya ingin membeli rokok dan menghisapnya beberapa batang di sana. Orang tua key yang galak itu pasti akan marah marah kalau tahu anaknya kedapatan merokok di rumah, aku yang masih belum tertarik pada batangan tembakau itu memilih tiduran di atas karpet ruang tengah di depan kamarnya.

TV masih menyala menampilkan logo PS, sebelum pergi mereka berdua habis habisan bermain sebuah game yang tidak ku mengerti, satu lagi hobby anak lelaki yang tidak terlalu ku sukai. Kenapa aku setuju untuk datang ke rumah key sore ini hanya karena koleksi novel milik ibunya yang tersusun rapi di rak yang memenuhi dinding ruangan ini.

Mereka berdua lebih sering menghabiskan waktu di rumahku sebenarnya, karena jaraknya yang lebih dekat ke sekolah dan aku yang selalu susah menurut mereka kalau diajak main jauh. Ditambah mama yang tidak pernah protes dengan rumah yang berantakan kalau mereka habis main di rumahku, atau makanan di dapur yang selalu habis karena mereka yang doyan sekali makan, bonusnya adalah mama bukan tipe orang tua yang senang nguping dan nimbrung pembicaraan kami. Tidak seperti kedua orang tua nando, makanya kami jarang sekali berkumpul di rumahnya.

Ku lipat roman yang sedang ku baca, aku yakin tante ratna tidak keberatan kalau aku meminjam buku ini. Dian Yang Tak Kunjung Padam, cerita roman yang lumayan menarik dan begitu menggelitik. Tentang kesenjangan status sosial dan ekonomi yang sepertinya sampai kapanpun akan tetap membayangi masyarakat indonesia.

Aku berjalan menuju jendela, di depanku pohon kamboja sedikit bergoyang tertiup angin yang datang menyambut musim hujan. Beberapa kelopak bunganya yang berwarna kuning berhamburan di atas teras kayu yang mulai kusam karena waktu. Kedua orang tua key adalah dokter, dan penghasilan mereka berdua jelas mampu membuat sekedar kolam renang di belakang rumahnya. Mataku menatap kilauan air yang diterpa sinar matahari sore ini.

Tiba tiba air beriak diiringi dengan seseorang yang naik ke tepi kolam dan meraih handuk yang ia taruh di atas bangku kayu yang berada persis di depan jendela tempatku berdiri, aku diam mematung. Melihat tubuh jangkung, putuh dan persis pahatan patung romawi kuno itu melap seluruh badannya yang basah oleh air kolam. Mata kami bertemu, ketika ia selesai mengeringkan badannya dan membuka jendela yang ternyata bisa digeser dan menjadi penghubung antara ruangan ini dengan taman belakang.

"liat apa?" ucapnya menyadarkan lamunanku, ia melesat masuk ke dalam rumah dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Langkah langkah kakinya melesat, mengabaikanku yang diam dengan mulut menganga, baru kali ini aku melihat sosok sekeren itu dalam hidupku. Ia menaiki tangga, membuka pintu di lantai atas lalu menutupnya, setelah itu pelan pelan musik yang hanya memainkan alat musik saxophone mengalun lembut dari sana.

"Wes, nih keripik pesenan lo" key muncul dengan satu kantong belanjaan yang terisi penuh oleh berbagai macam cemilan.

"Key yok main lagi" nando duduk di depan televisi memegang kembali stik PS nya.

"bentar, kebelet nih gue" key berlari terbirit birit menuju kamar kecil yang ada di bawah tangga.

"do, si Key punya kakak?" aku duduk tak jauh dari nando, menyandar pada rak buku yang paling dekat dengan pintu kamarnya key.

"engga, dia kan anak tunggal..." nando mulai memilih game apa yang akan dimainkan oleh mereka berdua.

"tapi tadi ada cowok yang berenang di kolam terus naik ke lantai dua" kejadian singkat barusan benar benar terpancang di kepalaku dan tanpa ku sadari sejak detik itu mengakar kuat di dalam jiwaku.

Lelaki dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang