🍫Raya: Go Back Home

78 43 26
                                    

Aku melangkah dengan riang ke kamarnya Dafa. Karena hari ini kita akan pulang ke rumah. Aku mengetuk pintu beberapa kali namun tak ada jawaban. Haish, pasti Dafa belum bangun. Aku putuskan untuk masuk saja.

Sebelum membangunkan Dafa, terlebih dahulu aku membuka tirainya. Setelah itu aku berjalan ke kasurnya.

"Fafa, ayo bangun. Sekarang kita pulang ke rumah loh," ujarku lembut sembari menoel-noel pipi tirusnya. Mungkin karena tidurnya nyenyak, baru juga aku gituin Dafa langsung membuka kedua matanya dan bangun.

"Yaya, sekarang jam berapa?" tanya Dafa sembari merenggangkan tubuhnya.

"Udah jam tujuh Fafa. Ayo bangun habis itu turun ke bawah. Yaya tunggu di bawah ya?"

"Eh Yaya tunggu!" cegah Dafa sebelum aku berjalan keluar dari kamarnya.

"Ada apa Fafa?" tanyaku lembut. Dapat kulihat Dafa yang sedang menggaruk kepalanya.

"Ehm, Fafa minta ditemenin Yaya boleh?" ujarnya yang membuatku langsung tersedak air liur. Dafa tersentak, seperti teringat sesuatu. "Eh, maksud Fafa itu, Yaya tunggu disini selagi Fafa mandi."

"Oh, ya udah. Sana Fafa mandi. Mandinya yang wangi, tapi jangan lama-lama," ujarku dengan menarik tanganya ke arah kamar mandi.

"Siap Tuan Putri Yaya."

Aku terkekeh mendengar balasannya. Ternyata Dafa masih dalam mode imutnya. Ah Raya jadi nggak sabar buat gigit Dafa yang gemesin kek gitu.

####

"Semua pakaiannya Fafa udah dimasukin ke koper?" tanyaku memastikan saat melihat Dafa berjalan mendekatiku sembari menarik koper mininya.

"Udah Fafa masukin semua. Ayok turun," ajaknya sembari mengukurkan telapak tangannya.

Bukan meraih tangannya, aku malah terpesona dengan pakaian yang Dafa gunakan. Saat ini Dafa terlihat ganteng banget. Apalagi kalo pake hoodie hitam itu. Iya, Dafa itu suka warna hitam, semua hoodienya berwarna hitam. Kalo ngomongin hoodie, aku juga pengen pake hoodienya.

Aku berjalan mendekat ke arahnya. Saat sudah sampai di depannya, aku menarik-narik kecil hoodie yang sedang dia pakai.

"Boleh pinjem kan? Please...." tanyaku dengan menangkupkan kedua tanganku di depan dada.

Dafa tersenyum simpul kemudian melepas hoodie itu. Saat aku ingin meraihnya, Dafa malah memakaikan hooide itu ke dalan tubuhku dengan hati-hati. Hoodie-nya yang oversize membuat tubuhku yang kecil ini tenggelem di dalamnnya. Tapi aku suka, karena aku merasakan kehangatan setelah memakai hoodie itu.

Dafa membuka kopernya, mengambil salah satu hoodie-nya. Kemudian dia pakai di tubuhnya sendiri. Seperti ini, aku dan Dafa seperti couplean hoodie. kan udah aku bilang, hoodie-nya Dafa itu sama semua.

"Yuk turun," ajakku riang dengan mengulurkan telapak tanganku.

Dafa mengangkat tangannya ke atas. Menyentuh kepalaku.

"Gemesin banget, pengen Fafa langsung nikahin tahu nggak."

Bukannya marah, aku malah senang mendengarnya. Kemudian aku tertawa renyah untuk menanggapi perkataannya.

####

Saat ini suasana hening di dalam mobil. Tadi saat awal perjalanan aku, Dafa, mama dan juga papa bercerita banyak sekali. Namun lama-lama kita mengantuk. Dafa sudah menawarkan dirinya untuk menggantikan papa menyetir, tapi papa menolaknya. Nah kan, Dafa itu emang calon suami yang sempurna heheheh.

Meskipun suasananya mendukung untuk tidur, tapi kedua mataku tak mengantuk. Sedangkan mama sudah tidur dari tadi. Aku menoleh ke samping ke arah Dafa yang baru saja menyelesaikan game onlinenya. Tak berapaa lama Dafa menguap.

Aku menepuk-nepuk bahuku, menyuruh Dafa untuk tidur di bahuku agar lebih nyaman. Namun seprtinya Dafa tak mengerti dengan maksudku. Aku menepuk bahuku lagi.

"Kalo mau tidur, Fafa boleh tidur di bahunya Yaya," ucapku pelan. Takut kedengaran papa.

Dafa masih terdiam namun tak lama kemudian menggeleng. Tapi aku masih tetap bulat dengan niatku. Aku menepuk bahuku sekali.

"Nggak papa. Fafa tidur aja di bahunya Yaya. Yaya kuat kok, nggak akan keberatan."

Dafa mendengus, kemudian menarik kepalaku dengan pelan, menuntunnya untuk menyandar di bahunya. Aku ingin menegakkan kepalaku karena aku tidak mengantuk. Kan yang ngantuk Dafa bukan Raya.

Namun niatku terhenti saat kurasakan kepalanya Dafa yang menyandarkan kepalanya diatas kepalaku. Membuatku tersenyum seketika.

"Udah gini aja. Fafa lebih nyaman kayak gini," bisiknya di samping kepalaku.

"Iya, Yaya juga lebih suka kayak gini hehehe."

####

"Kak Gavin, kenapa Kak Gavin pergi. Kenapa nggak disini aja?" ujarku yang tak setuju dengan pilihannya.

Saat sore hari aku dan Kak Gavin sedang duduk berdua di gazebo rumahnya Dafa. Sedangkan Dafa sedang tidur.

"Nggak bisa Raya. Kaka harus pergi."

"Padahal banyak universitas yang bagus di Indonesia. Kenapa kaka milih untuk kuliah ke luar negeri?"

"Ada satu alasan yang nggak bisa kaka katakan."

Aku terdiam, mencerna perkataannya barusan. Apa katanya, ada satu alasan yang tak bisa dia katakan. Hahaha, emangnya Kak Gavin menganggapku apa? Apa aku dianggap hanya orang asing olehya?

Aku tak rela jika Kak Gavin harus kuliah di luar negeri. Bagaimana pun juga Kak Gavin sudah aku anggap seperti kakakku sendiri. Apalagi statusku sekarang menjadi tunangannya Dafa, adik kandungnya Kak Gavin.

"Apa Kak Gavin, nggak sayang sama aku?" tanyaku tiba-tiba. Aku hanya ingin mengetes dirinya, apakah dirinya memang menganggapku sebagai keluarga atau orang luar.

"Raya, Kakak-"

Kak Gavin tak menyelesaikan kalimatnya. Membuatku menatapnya dengan kecewa.

AUTHOR POV

"Apa Kak Gavin, nggak sayang sama aku?" tanya Raya tiba-tiba.

Membuat seseorang yang baru saja tiba di belakangnya keduanya, mengepalkan tangannya erat. Seseorang itu tak lain adalah Dafa.

"Raya, Kakak-"

Cukup, Dafa tak kuat mendengar pernyatan tersebut. Dengan segera Dafa pergi dari tempat persembunyiannya.

Ternyata, selama ini Raya hanyalah berakting agar bisa dekat dengan Gavin. Dafa marah akan hal itu. Marah namun juga kecewa. Kini tekat Dafa sudah bulat.

Dafa akan membatalkan pertunangannya dengan Raya dan membiarkan Gavin memiliki Raya seutuhnya. Namun saat ini Dafa membutuhkan tempat untuk menenangkan dirinya. Dafa berlari keluar dari rumah menggunakan motor besarnya.

CIELO [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang