Pukul tujuh malam, sampai saat ini aku belum bertemu dengan Dafa. Tadi saat makan siang, setelah aku pergi dari bukit, ternyata Dafa juga belum pulang. Aku sudah meneleponya berkali-kali, namun ponselnya tidak aktif. Dan hal inilah yang membuatku semakin sedih dan khawatir.
"Raya, itu Dafa udah pulang. Ternyata dari siang, dia ngumpet di kamar. Tadi udah mama suruh turun buat makan malam. Tapi dia nggak mau. Tolong ya Raya, antarkan makan malamnya. Semoga aja Dafa mau makan kalau Raya yang bawain," ujar Mama Tsabina memberitahuku.
Seketika itu juga wajahku kembali cerah, tak lupa dengan senyum lebar aku mengangguk menuruti permintaan Mama Tsabina.
"Baik, Ma. Raya siapin dulu makanannya."
Dengan cepat aku menyiapkan makan malam untuk Dafa. Ah pasti Dafa lapar banget tadi siang dia belum makan. Aku harus segera cepat ke kamarmya.
####
Tok! Tok! Tok!
"Fafa, ini Yaya. Yaya bawain makan malam buat Fafa. Yaya masuk ya!" seruku di depan pintu kamarnya Dafa.
Aku tahu kebiasaannya yang tak pernah mengunci pintu kamar, tanpa membutuhkan ijin darinya aku langsung membuka pintu itu dan segera masuk.
Hal pertama yang aku lihat adalah Dafa yang sedang berdiri di balkon yang pintunya terbuka lebar. Oh apa itu? Kok ada asap putih? Jangan-jangan Dafa merokok lagi. Aku segera meletakkan nampan makanan di atas nakas. Berjalan mendekati Dafa.
"Fafa," panggilku di belakangnya.
Dafa tak menjawab namun menoleh ke arahku. Seketika itu juga aku melototkan kedua mataku. Benar dugaanku, jika Dafa merokok. Aku tak suka melihat Dafa merokok. Dengan segera aku menyambar rokok itu dari tangannya. Tapi kok bentuknya kotak? Nggak ada apinya juga.
"Kembaliin," ujar Dafa tegas tak lupa dengan tatapan tajamnya.
"Nggak mau, Fafa. Udah Yaya bilangin berapa kali sih, kalo Yaya itu nggak suka lihat Fafa ngerokok," jawabku tak kalah tegas.
"Itu bukan rokok. Tapi vapor," koreksinya yang membuatku mendesah lelah.
"Sama aja. Ngeluarin asap," balasku.
"Kembaliin, Yaya. Jangan ngerusuh," peringat Dafa.
"Yaya nggak ngerusuh. Yaya cuma nggak mau lihat Fafa sakit. Kan Fafa tahu merokok itu bisa membunuh orang. Yaya nggak mau hal itu terjadi sama Fafa. Yaya mau Fafa tetep sehat terus. Kalo Fafa sakit siapa yang jagain Yaya? Siapa yang bisa Yaya peluk?" ujarku lirih.
Memang benar kan kalo merokok itu bisa membuat orang meninggal. Aku tak mau Dafa pergi jauh dariku. Apakah ada seseorang yang mencintai orang lain akan rela jika ditinggal pergi, bahkan ditinggal ke alam lain? Jawabannha pasti tidak.
Aku menunduk, merasa sedih saat membayangkan jika Dafa sakit, dan lebih parahnya lagi pergi dari dunia ini. Aku semakin terlarut dalam pikiran sendiri saat teringat seorang siswa laki-laki meninggal karena gagal jantung. Aku tak mau hal itu menimpa pada Dafa, cowok yang aku cinta dan sayang.
Puk! Puk! Puk!
Dapat kurasakan kepalaku yang ditepuk pelan. Aku mendongak, melihat Dafa yang tersenyum tipis ke arahku. Aku masih terdiam, sedangkan Dafa berjalan maju sampai di depanku.
"Makasih udah diingetin. Janji nggak bakal diulangin," kata Dafa yang masih menepuk pelan kepalaku. Namun berlahan berubah menjadi usapan lembut. Aku terbuai oleh usapannya.
Aku melirik ke tanganku, tersadar dengan benda kotak yang masih aku pegang itu. Dengan hati-hati aku menoleh ke arah Dafa.
"Ehm, Y-Yaya buang ya vapornya?" tanyaku takut-takut. Takut jika Dafa marah kepadaku.
Namun dugaanku meleset. Dafa malah tersenyum simpul kemudian mengangguk. Membuatku senang seketika.
"Boleh nih?" ujarku memastikan.
"Iya. Boleh."
Dengan segera aku melempar vapor itu ke bawah. Hingga tenggelam ke dalam danau. Aku tersenyum lega karena benda laknat itu jauh dari Dafa.
"Sekarang Fafa makan ya?"
Dafa tak menjawab, namun menganggukkan kepalanya berkali-kali dengan pandangan yang memelas. Ih Dafa lucu juga kalo nurut kek gini. Jadi tambah sayang hehehe.
####
"Sekarang tinggal satu suap lagi. Ayo buka mulutnya," kataku bersemangat sembari mengangkat sendok makan.
Dafa menurut dan langsung melahap makan malamnya. Membuatku tersenyum puas karena Dafa melahap habis makanannya.
"Nah gitu dong, kan baru ganteng," kataku sembari mengusap rambut hitamnya. Sedangkan Dafa menatap ke arahku dengan dingin.
"Udah ganteng dari dulu," protes Dafa.
"Ah masa?" godaku membuatnya memutar bola matanya.
"Nggak percaya?"
Aku pun terkekeh mendengar perkataanya. "Iya deh percaya. Emang Fafa paling ganteng sedunia!"
"Sedunia?" beo Dafa tak mengerti.
"Iya, dunianya Yaya hehehe."
Dapat kulihat jika sudut bibirnya Dafa tertarik ke atas. Hal itu membuat senyumku semakin lebar.
Tiba-tiba angin berembus masuk ke dalam kamar. Membuatku yang hanya memakai piyama tidur yang tipis ini kedinginan. Ternyata pintu balkon masih terbuka lebar.
"Pintunya Yaya tutup ya? Yaya kedinginan." Aku bertanya dengan menggosok kedua tanganku. Saat aku ingin beranjak, Dafa terlebih dahulu berjalan menuju balkon.
"Biar Fafa aja," ujarnya lembut. Haish, manis banget sih Dafa malem ini. Kalo aja Dafa manisnya setiap hari, pasti aku seneng banget. Tapi nggak papa, lama-lama Dafa bakal manis ke aku setiap hari. Aku yakin itu.
"Kenapa nggak pake jaket. Di sini dingin suhunya kalo malem," ucap Dafa setelah menutup pintu balkon.
"Yaya cuma bawa satu jaket. Itu juga lagi Yaya cuci tadi siang."
"Ck, yaudah bentar. Fafa ambilin."
Benerkan, Dafa itu imut banget kalo perhatian gini. Apalagi dia mengubah gaya bahasanya. Uh, Raya makin sayang tahu nggak.
"Eh bentar," kataku menghentikan Dafa yang akan berjalan. "Yaya mau pake jaket yang itu." Aku menunjuk jaket oversize yang Fafa pakai.
"Ya udah."
Aku melihat Dafa yang sedang menurunkan resleting jaketnya. Dan saat akan melepaskan lengan jaketnya, aku mencegahnya terlebih dahulu.
"Coba Fafa rentangin kedua tangannya kayak gini."
Dafapun menurut, kemudian merentangkan kedua tanganya ke samping. Aku mendekat ke arah Dafa membuat alis Dafa naik. Aku diam dan beridi membelakangi tubuhnya. Dengan hati-hati aku memasukkan kedua tanganku ke dalam jaket. Dimulai dari tangan kanan kemudian disusul dengan tangan kiri. Setelah iti aku menutup resleting jaketnya.
Jadi di dalam jaket ada aku dan Dafa. Ini sangatlah hangat, dan aku menyukainya. Karena tubuhku yang kecil, jaket oversize milik Dafa muat jika dipakai berdua. Aku mengarahkan lengan jaketnya agar memeluk tubuhku. Jadi seperti Dafalah yang sedang memeluku.
"Gini aja ya? Soalnya Yaya suka hehehe. Fafa suka juga nggak?"
Dafa terdiam, kemudian mengeratkan tangannya yang sedang memelukku.
"Iya. Fafa juga suka."
KAMU SEDANG MEMBACA
CIELO [TERBIT]
Roman pour Adolescents"Cinta tak selalu dilambangkan dengan bunga mawar, tetapi bisa juga dengan langit" CIELO diambil dari bahasa Italia yang berarti "langit". Memiliki banyak makna termasuk keabadian cinta didalamnya. Warnanya yang menenangkan ternyata berefek member...