lembar 01

45 33 9
                                    




"Apa kamu baik-baik saja?"

Kemudian dia melonggarkan cengkeramannya di tangan Caitlin. Caitlin berdiri diam dan tidak mendengarkan apa yang lelaki itu katakan karena mati rasa.

Gadis itu tidak tahu apa yang harus ia lakukan atau setidaknya mengatakan 'Saya baik-baik saja' padanya.

Dia hanya bergegas ke kerumunan menunggu bus. Begitu bus datang, ia masuk ke dalamnya dengan pikiran segar di benaknya.

Saat pagi tiba, Caitlin mengingat kembali apa yang terjadi kemarin malam di halte bus dalam pikirannya. Dalam keadaan mati rasa itu, ia lupa berterima kasih padanya karena telah memegang tangannya.

Bagaimana Caitlin bisa berterima kasih padanya saat itu? Itu terjadi begitu cepat sehingga dia tidak punya waktu untuk bereaksi.

Caitlin memutuskan bahwa ia akan berterima kasih padanya nanti jika mereka bertemu lagi.

Hari ini tiba. Caitlin berada di tempat yang sama saat mereka bertemu. Caitlin tidak melihatnya. Dia menunggu dengan sabar.

Bus nya datang dan ia menunggu sampai ia yang terakhir naik ke bus. Gadis itu kecewa karena alasan yang tidak ia ketahui.

"Kenapa gue peduli sama orang asing?" Caitlin berkata pada dirinya sendiri.

Hari-hari berlalu, ketidaksabaran nya tumbuh dan harapan punah. Pikiran negatif menggerakkan pikirannya.

Bagaimana jika ini terakhir kali Caitlin melihatnya? Hati nya menentang pikiran itu. Akhirnya suatu hari yang cerah, Caitlin melihatnya di tempat yang sama di mana dirinya pertama kali bertemu dengannya.

Ah! Dia terlihat dingin seperti biasanya. Caitlin berdiri di sampingnya menunggu bus. Sekali lagi gadis itu mati rasa. Caitlin bahkan tidak bisa mengatakan 'hai'. Butuh beberapa menit untuk mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengannya.

"Makasih buat beberapa hari yang lalu," kata Caitlin.

Dia menganggukkan kepalanya singkat. Keheningan menyusul kemudian. Caitlin meliriknya setiap detik. Saat manik mereka bertemu, dia menoleh ke sisi lain.

Gadis itu akan berbicara dengannya. Sayangnya bus datang dan Caitlin harus pergi.























Caitlin masih sibuk mengenang kejadian pagi tadi. Saat kelas sedang sepi. Saat teman-temannya di kantin atau perpustakaan.

Gadis itu termenung, menangkup dagunya dengan kedua tangannya sembari tersenyum.

Di hadapannya, ada sebuah kotak bento yang diberikan sahabatnya, Karina. Karina tidak datang ke sekolah karna izin.

Sebagai sahabat yang baik, Karina selalu menyiapkan bento untuk Caitlin, begitupun sebaliknya. Itu sudah menjadi rutinitas mereka semenjak satu tahun terakhir.














"Caitlin, lo gak makan?" Mahesa mengagetkannya, ia baru sadar kalau bento di hadapannya belum habis.

Dan ia baru sadar kalau teman-temannya sudah pergi ke kantin. Dia juga baru benar-benar sadar kalau dari tadi ia hanya mengaduk-aduk makanan dengan sendok.

"Caitlin," sekali lagi Mahesa mengagetkannya.

"Apaan sih, Sa?!" jawab Caitlin ketus.

"Hei! Lo pikir kenapa? Ini udah jam berapa tukang ngayal?"

Caitlin melirik jam dinding kelas yang menunjukkan pukul 11, menandakan jika sebentar lagi istirahat akan berakhir. Caitlin menutup bekalnya, tak menghabiskan makanan itu.

"Kenapa gak lanjut makan? Ntar lo sakit, tau!" cibir Mahesa.

"Bomat, ah. Gue uda ga selera liat muka lo," balasnya.

"Eh, Ca, soal kemarin.." Mahesa me naik-naikkan alisnya, "apa lo uda baca?" Wajah lelaki itu memerah menunggu jawaban.

Caitlin terdiam, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Jaraknya dengan Mahesa sangat dekat sekarang. Seolah-olah lelaki itu mengintimidasi nya sampai pertanyaan miliknya terjawab.


























Caitlin menenggak salivanya, balas menatap Mahesa. "Ga tau.. gue gatau, maaf."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
PRIVILEGESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang