Pagi ini terlihat embun masih tegar menempel di kaca jendela kelasnya. Semalam hujan singkat telah meninggalkan dia sendirian.
Kata hujan, besok pagi dia akan kembali menemui embun. Namun, hingga siang hujan tak kunjung datang dan embun pun beranjak.
Berbeda dengan Caitlin, saban hari dia masih saja berdiri di depan pintu kenangan. Berharap pintu itu terbuka kembali dan ia bisa mengulang kenangan bersama seseorang. Namun, pintu tak kunjung terbuka.
Dia terdiam, mengutuk dirinya sendiri yang masih saja mengharapkan berkumpul dengan kenangan. Menanti sesuatu yang tidak pasti.
Seseorang yang selalu ada dalam hela nafas. Sulit untuk berhenti mengingat senyum itu. Seakan menyatu dalam darah yang dialirkan jantung ke dalam otaknya.
Tentu gadis itu marah pada dirinya sendiri. Dia marah pada hati dan pikiran yang membiarkan rindu tinggal berlama-lama dalam dirinya.
"Hai, met pagi Ca!" Nara teman sebangku Caitlin, datang di awal pagi. Bersamaan dengan duduknya, gadis itu kembali menatap Caitlin.
"Heloww!" Dia melambai-lambai kan tangannya di depan wajah Caitlin yang murung. "Pagi cantik!" sapanya lagi.
Caitlin terkekeh sebentar, "pagi juga." Bibirnya terkatup, senyum memudar dan wajahnya kembali murung.
"Lo kenapa Ca? Lagi sakit ya?" Nara menyentuh pelan dahi Caitlin yang pucat.
"Loh, engga panas kok. Cuma sedikit dingin," katanya.
Caitlin mengedipkan matanya, menjauhkan tangan Nara dari dahinya.
"Hey, lo kenapa?" Nara si ratu kepo perlahan menenggelamkan wajah sebelah kiri ke atas lengannya, dengan posisi menghadap Caitlin sepenuhnya.
"Gimana kabar Mahesa? Bukannya dia nembak lo."
Caitlin terdiam, dia melihat Nara singkat. "Darimana lo tau?" jawabnya dengan nada datar.
"Tau dong, gue kan temen sebangku lo. Gue tau semuanya, hehe."
"Bisa gitu ya?" Caitlin melihat ke arah papan tulis, tangannya menampung wajah cantiknya. "Gue nolak Mahesa."
"LAH?" Nara duduk tegap di atas kursi, menatap Caitlin lekat-lekat. "Lo serius? Bisa-bisanya lo tolak dia?!"
Caitlin berdehem, "emang kenapa?"
"Ya, bukan kenapa-kenapa lo Ca. Dia itu cakep banget lho. Walaupun dia ga pintar, tapi setidaknya dia jago bela diri dan keren!"
Caitlin terkekeh pelan, "dia itu jago bela diri, dan menyalurkan bakatnya itu buat bully orang. Elo gatau? Hahaha." Caitlin tertawa miris.
Nara terdiam, "iya.. gue tau. Tapi itu udah lama, dan gue udah jarang liat ngumpul sama geng nya buat ngebully orang lagi."
"Dia itu.." Caitlin menatap netra Nara lekat. "Dia itu.. udah bertunangan. Jadi, gak mungkin dong gue jadi pelakor." Caitlin menyentuh dahi Nara, menjentik dahi itu pelan.
"Auh, sakit.."
Nara menggosok-gosok dahinya nya yang sedikit memerah. Gadis pucat itu emang terlahir sebagai penderita Anemia, dan jika kulitnya tersentuh sedikit, langsung memerah.
"Beneran Ca?" Nara mengeluarkan suara lirih. Sudah pupus harapan untuk mengidolakan seorang Mahesa.
"Iya, Ra."
Nara mengerucutkan bibirnya, "huhu.. lo tau ga, kalau—"
"Lo sedih?" potong Caitlin.
"Ya, jangan berlarut-larut."
Caitlin mengelus pucuk kepala Nara, "sadar diri kalau kita gabisa maksain perasaan kita ke orang lain."
Nara mengerutkan kening, "Ca.. lo ngejek gue?"
Caitlin tersenyum tenang. "Itulah yang gue rasain Ra.. gue gak bisa maksain diri buat perasaan gue. Sama kaya lo, lo suka Mahesa, sementara dia udah punya tunangan.." Caitlin menjeda kalimatnya.
"Se—sementara gue, gue punya perasaan berbeda dan dunia yang berbeda ama dia."
Nara menggaruk tekuknya, "maksud lo?"
"Iya, dunia gue ama doi itu berbeda. Kami sama-sama mengenal, hanya saja gak terlalu dekat. Tapi gue udah jatuhin hati gue ke dia sejatuh-jatuhnya."
"Terus, doi lo, suka sama elo?"
"Engga Ra, dia mungkin udah gak ingat lagi ama gue sekarang."
"Lah? Gue gak ngerti Ca. Hubungan percintaan lo rumit juga ya."
Caitlin tertawa kecil, "iya Ra.. rumit dan singkat banget."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.