8 | Selangkah tertatih

19 3 0
                                    

Di sebuah ruangan yang hanya berisikan Pak Hardian selaku guru BK Nusda itu, seorang siswa wasuk tanpa permisi atau sekedar mengetuk pintu sebelumnya. Siswa itu langsung duduk pada sofa empuk, yang biasa ia jadikan tempat tidur jika berada di rumah.

Menyadari siapa siswa itu, Pak Hardi menghela napas kasar dan menutup buku konseling yang sebelumnya ia baca.

"Mau ngapain?" tanya Pak Hardi, meskipun ia sudah bisa menebak, anak ini baru saja melakukan kesalahan.

Sean menggedikkan bahu sebentar. "Nggak tau, tanya aja sama Bu Bi," balasnya tanpa menoleh. Ia memperhatikan ruangan yang sudah cukup lama tidak ia kunjungi. Ternyata ada beberapa perubahan di dalamnya, muladi dari warna cat yang berubah menjai putih polos, sampai sofa yang sekarang ia duduki menjadi lebih empuk dari terakhir kali ia duduki.

Pak Hardi berdecak sekali. "Kamu mau apa di ruangan saya?"

Kekesalan Sean mulai hadir ketika pertanyaan itu kembali diulang.

"Kalau tidak ada keperluan, saya minta kamu keluar sekarang!" ucap guru bertubuh kurus itu dengan nada lebih tinggi.

Sean melirik Pak Hardi dengan kesal. Bolehkah ia mematahkan leher orang itu sekarang juga? Namun, niatnya terpaksa urung karena ketukan pintu membuyarkan aura dingin yang sempat hadir di ruangan itu.

"Permisi, Pak."

Akhirnya wanita itu masuk setelah Sean berada di tempat itu lebih dulu.

"Bisa saya bicara sebentar?" tanya Bu Bi setelah duduk di sebelah Sean. Pak Hardi ikut duduk pada sisi sofa yang lain. Pak Hardi tidak terkejut dengan kehadiran salah satu guru seni itu di ruangannya, ia bahkan sudah bisa menebak hal apakah yang akan Bu Bi bicarakan.

Setelah Pak Hardi duduk, Bu Bi mulai menceritakan perlakuan Sean pada Leon beberapa menit yang lalu. Seperti dugaan pria paruh baya itu, masalahnya tidak akan jauh-jauh dari kenakalan Sean. Sebenarnya, ia sudah lama mendengar kabar bahwa Sean kembali berulah setelah keluar dari ruangannya semester lalu.

Tapi ia tidak ingin membahas kasus ini tanpa ada pengaduan dari korban. Untuk apa mengerjakan sesuatu jika tidak ada imbalan?

Sementara cowok itu menguap bosan dengan cerita Bu Bi. Untuk apa ia dibawa ke tempat ini? Bukankah perlakuannya masih wajar? Leon juga belum sempat mati di tangannya.

"Jadi, saya minta bapak selaku guru BK untuk menghukum Sean," ujar Bu Bi setelah selesai bercerita.

Pak Hardi mengangguk mengerti. Jika sudah Bu Bi yang membawanya, dengan sangat terpaksa ia harus bertindak. Padahal, sudah cukup lama ia menunggu imbalan dari para korban setelah mengambil tindakan atas perlakuan Sean.

"Baik ...," Pak Hardi menjeda untuk membaca nametag Sean. "Sean Al ... zegaf. Karena perlakuan kamu yang diluar batas, dengan terpaksa kamu saya skors selama tiga hari."

Keputusan yang didengar Sean sama sekali tidak membuatnya takut. Ia justru lega karena rasa bosannya berakhir. "Baik, Pak. Saya keluar sekarang ...." ucapnya kemudian berdiri.

"'Tunggu sebentar, Sean." Bu Bi menghentikan langkah cowok itu. "Kamu belum diberikan surat skors un-"

"Nggak perlu. Buat Bu Bi aja kalo mau," potongnya kemudian hilang di balik pintu yang sudah tertutup.

****

"Kak Rhea?" panggil Anya pada seorang gadis yang baru saja keluar dari kelas.

Gadis yang Anya panggil Rhea itu menarik kedua ujung bibirnya. Senyumnya terlihat sangat ramah dan sopan, tipe gadis lemah lembut idaman banyak orang.

Anya membalas senyuman tak kalah ramah. "Kemana aja, Kak? Udah lama nggak keliatan?"

"Lo kayak nggak tau dia aja, Nya'.Sekolah satu hari liburnya seminggu," ucap Wina-teman Rhea-setelah meneguk Pop Ice mangga di tangannya.

Rhea sempat melirik temannya dengan tatapan kesal sebelum menjawab, "Enggak, Nya'. Gue emang jarang keluar kelas, sih." Gadis itu mejeda demi menghindari pertanyaan yang berhubungan dengan dirinya. "Dengan-dengar lo udah nerbitin novel, ya?"'

Anya tersenyum ramah. "Iya, Kak."

Selain memiliki hobi mengulik berita, Anya juga suka menulis novel, bahkan puluhan judul novel sudah tersusun rapi pada rak bukunya.

"Wah! Selamat, ya, Nya'." Rhea mengulurkan tangan untuk bersalaman dan disambut baik oleh Anya.

"Selamat Anya ... dari SMP bakat lo emang udah keliatan, sih," ucap Wina bersemangat.

Dua orang disana menoleh bingung. Bagaimana Wina bisa mengenal Anya sejak SMP. Padahal hanya Rhea yang satu sekolah dengan Anya saat SMP.

"Lo tau dari mana?" tanya Rhea.

"Kan, lo yang ceritain," balas Wina santai.

"Tapi-"

"Kita duluan, ya, Nya'!" seru Wina seraya menarik tangan Rhea pergi dari tempat itu.

Anya mengangguk dan tersenyum ramah, tanpa persetujuan. "Jago juga ngarangnya," ucapnya kemudian tertawa geli.

Gadis itu melanjutkan langkah menuju ruang ekskul jurnalistik yang berada di gedung sebelah.

SMA Nusa Cendana memiliki dua gedung dengan fungsinya berbeda. Gedung pertama merupakan gedung kelas satu, dua dan tiga dari berbagai jurursan. Sementara gedung yang lain hanya berisikan ruangan khusus ekskul.

Jadi, Anya harus menghabiskan cukup banyak tenaga untuk menemui Aretha di gedung sebelah. Tetapi tidak apa-apa, bukankah menolong orang tidak boleh perhitungan?

Ia sempat tersenyum ramah saat beberapa satpam menyapanya sopan, sebelum menaiki tangga menuju lantai tiga.

"Loh? Aretha?!" panggil Anya saat menemukan gadis itu duduk bersandar di tangga menuju lantai dua.

Gadis yang tadi dipanggil mengangkat kepalanya. Kemudian tersenyum.

"Kan gue bilang tunggu di ruangan gue ...." Anya mendekat. "Ngapain duduk di sini?" tanya gadis itu lagi saat Aretha berdiri.

Pertanyaan kedua yang Anya utarakan itu seharusnya diganti dengan, 'udah lama nunggu di sini?' Sebab ia bahkan tidak tahu sudah berapa jam terlewati sejak ia keluar dari parkiran sekolah tadi pagi dan duduk di tangga ini agar tidak terekam CCTV sekolah. Ia tidak tahu sudah berapa lama terlewati hanya untuk menunggu Anya agar dirinya terselamatkan.

Sejak harapan yang tadi pagi Anya ucapkan, ia bahkan tidak berniat menuju kelas. Sebenarnya bukan karena ia terlalu bersemangat, tetapi karena ia harus menghindari beberapa tatapan sinis dari berapa orang yang tidak menyangka bahwa dirinya senakal itu.

"Jadi, gue boleh minta bukti yang lo maksud?" tanya Aretha saat baru saja melangkah menuju ruangan ekskul jurnalistik.

Anya menoleh melihat gadis yang tadi bersuara tersenyum penuh harapan. "Nanti bakal gue jelasin semuanya."

Sejak satu hari yang lalu, Anya langsung mencari beberapa bukti agar Aretha terselamatkan. Bahkan ia rela tidak tidur untuk mencari kebenaran.

Mulai dari mewawancarai anak ekskul model tentang diri Aretha. Hingga mencari tahu pemilik akun Tansyla yang telah memposting foto tersebut.

Di dunia, tidak ada yang sia-sia jika kita mau berusaha. Hingga tepat tadi pagi, Anya berhasil menemukan fakta yang sebenarnya, juga pemilik akun @Tansyla.

ObstinateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang