Di dunia, di mana segala hal terjadi. Di mana kamu bisa menjadi apapun.
Sean Alzegaf, tumbuh sekeras batu. Merundung dan berlaku sesukanya, ia hidup sebagai cowok paling menakutkan, tidak pernah peduli dengan konsekuensi. Sean hanya ingin merasakan...
Kejaiaban yang tadi Aretha tunggu-tunggu ternyata memang tidak pernah berpihak padanya, atau memang keberadaannya yang tidak nyata. Serupa dengan harapan yang selama ini ia gantungkan.
Gadis itu sekarang sedang bersandar di bawah pohon besar yang ada di belakang sekolah. Ia sudah hampir putus asa mencari cara agar kepala sekolah tersebut percaya padanya, meskipun dengan terpaksa kebohongan ia lakukan.
Aretha tidak boleh menyerah. Bukti harus sudah ada ditangannya besok siang.
Bukan karena ia takut mengakui kesalahannya di depan semua orang. Namun, ini perihal sang mama yang akan menghajarnya tanpa ampun jika tidak lagi menjadi ketua ekskul. Tidak, tidak, bukan itu yang paling ia takutkan, melainkan langkah kakinya yang akan dikekang.
Atau bahkan benar-benar mengurungnya dalam sebuah sangkar emas yang tidak akan ia temukan kuncinya.
“Aish! Bego banget, sih, gue!” umpatnya kesal. “Harus pake cara apa gue ngebukti— Aw!” keluhnya saat suatu benda berhasil jatuh menimpa kepalanya. Tak lama kemudian, tubuh seseorang ikut turun dari atas pohon.
Gadis itu mengernyit keherahan, sejak kapan cowok ini ada di pohon?
“Baru nyadar kalo lo bego?” kata Sean sinis. Rautnya kali ini tidak kalah menyeramkan dari seringaian yang selama ini ia tunujukan.
Sean mengambil sekotak susu putih yang tadi ia jatuhkan ke kepala Aretha. “Buat lo. Biar otak lo jernih.”
Aretha menoleh, lalu diam cukup lama. Bukan sekotak susu putih itu yang menarik perhatiannya, melainkan darah di sudut bibir dan lebam di pipinya. Ia sontak menyentuh bibir Sean pelan, dan menghapus sisa cairan merah yang mulai mengering itu dengan tangan.
“Bibir lo berdarah ...,” ucap Gadis itu pelan. Aretha kemudian mengeluarkan tissu dari saku dan membersihkan sudut bibir Sean selembut mungkin. “Gue cuma punya tissu, kalo ngerasa sakit, ngomong, ya.”
“Kayak apa rasanya?”
“Hah?!” seru Aretha bingung. “Kalo ngerasa sakit, bilang,” ulang gadis itu, mengira cowok itu tidak mendengar ucapannya.
Sean meraih tangan Aretha, mengarahkan ke sudut bibirnya, lalu menekan tangan itu kuat. “Rasanya kayak apa?” tanya Sean sekali lagi.
Setelah ucapan Sean, mata mereka bertemu hingga membuat gadis itu gelagapan ketika mata tajam yang biasa terlihat justru berganti menjadi seteduh malam. Namun, tidak bisa dipungkiri kegelapan masih ada di dalamnya.
Cukup lama mata mereka bertemu hingga Sean memutuskan kontak mata tersebut. Aretha mengira, Sean akan langsung pergi saat kontak mata terputus, tetapi ia salah. Cowok itu justru meletakkan kepalanya pada bahu Aretha, hingga gadis itu tersentak.
“Eh?!”
“Biar gini dulu ...,” ucap Sean lirih. Suara yang nyaris tidak terdengar oleh gadis yang saat ini masih kebingungan dengan sikap Sean.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.