Helaan napas berat keluar dari mulutnya saat langkah kakinya berhenti di depan ruang kepala sekolah. Anya yang ikut bersamanya berusaha meyakinkan bahwa rencana mereka akan berhasil.
Ketika pembelaan diri tidak bisa dilakukan, menyerang lawan adalah satu-satunya pilihan untuk bertahan.
Tidak ada bukti yang bisa dikumpulkan untuk membuktikan ucapannya. Tetapi kalimat Sisyl waktu itu ia jadikan senjata untuk melawan. Ia sangat yakin kepala sekolah yang serakah itu tidak akan membuatnya tetap bertahan.
“Gue pasti menang, kan?” tanya Aretha pada diri sendiri.
Bukan perlombaan memang, tetapi menentang pilihan kepala sekolah tersebut sama saja dengan melawan macan di dalam kandang.
Mustahil untuk menang.
Anya mengukir senyum paling manis yang ia punya, berusaha mentransfer aura positif miliknya kepada Aretha. Meski mereka tidak dekat, bukan berarti ia akan tega membiarkan Aretha menghadapi kasusnya sendirian. Apalagi, menolong gadis itu adalah permintaan Sean.
Selain kedua orangtuanya, Sean adalah satu-satuinya orang yang tidak akan bisa ia bantah.
“Tapi, Nya’.” Senyum yang semula terukir di bibir Aretha mendadak redup saat ketakutannya hadir lagi. “Enggak akan jadi masalah, ‘kan?”
Anya menggeleng. “Kemungkinan enggak. Karena bukti untuk menjatuhkan Sisyl jauh lebih kuat daripada masalah lo yang diperpanjang sama Pak Lesmana.”
“Makasih, ya, Nya’,” ucap Aretha. Ia yakin, jika Anya tidak hadir untuk menolongnya, ia sudah kalah tanpa melawan.
Anya berdecak. “Lo harus menang dulu baru bilang makasih.” Ucapan Anya dibalas dengan sebuah senyum canggung di bibir Aretha. “Ya udah masuk, gih!”
“Masih nunggu Bu Bi—“
“Retha!” seru seseorang dari belakangnya, setengah berlari untuk memeluk sang sahabat. “Semangat, ya Re. Gue yakin lo bisa,” ucapnya setelah Aretha berada dalam pelikan.
“Lah? Katanya mau ke UKS? Kenapa malah ke sini?” tanya Aretha bingung
Wilona melepaskan pelukannya. “Gue khawatir banget sama lo, Re.”
“Khawatir?” tanya Anya pada dirinya sendiri. Alisnya sudah bertaut lebih dulu melihat pandangan di depannya.
Gadis berambut pendek itu berbalik saat suara anya terdengar meski samar. Ia menatap Anya sekilas kemudian kembali menoleh ke arah Aretha. “Lo ngapain sama Anya?”
“Gue bantuin Aretha buat nyari pemilik akun Tansyla,” jawab Anya meskipun ia tahu pertanyaan itu bukan ditujukan untuknya.
Willona mengangguk. “Udah ketemu itu akun punya siapa?”
“Ud—“
“Belum, Na,” Aretha lebih dulu menjawab.
Ah iya, Anya lupa ia tidak memberitahu Aretha siapa pelakunya.
“Semoga berhasil, ya!” ucapnya seraya menepuk pundak Anya dua kali. “Gue balik ke UKS ya, Re.”
Aretha mengangguk. “Makasih, Na ....”
Setelah kepergian Willona, ia memerhatikah raut wajah Anya yang masih menatap lengkah demi langkah kaki sahabatnya. Entah karena apa, ia merasa ada sesuatu yang Anya sembunyikan.
“Udah lama?” tanya seseorang di belakang Aretha.
Dua gadis itu menoleh. Di sana, Bu Bi sudah berdiri dengan wajah ramah. Hadirnya Bu Bi membuat Aretha menghentikan niatnya untuk mengajukan pertanyaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obstinate
Teen FictionDi dunia, di mana segala hal terjadi. Di mana kamu bisa menjadi apapun. Sean Alzegaf, tumbuh sekeras batu. Merundung dan berlaku sesukanya, ia hidup sebagai cowok paling menakutkan, tidak pernah peduli dengan konsekuensi. Sean hanya ingin merasakan...