Di dunia, di mana segala hal terjadi. Di mana kamu bisa menjadi apapun.
Sean Alzegaf, tumbuh sekeras batu. Merundung dan berlaku sesukanya, ia hidup sebagai cowok paling menakutkan, tidak pernah peduli dengan konsekuensi. Sean hanya ingin merasakan...
Hewwo! Kasi tau aku, ya, kalo ada typo Happy reading❤
***
“Ayo, dimakan makanannya. Udah capek-capek, loh, tante masak sendiri,” ucap seorang wanita dengan pakaian dan perhiasan glamour menunjukan bahwa ia berada pada kasta teratas dalam keluarga besarnya. Wanita paruh baya itu sedang menuang jus jeruk ke gelasnya seraya melirik spageti yang baru saja ia sajikan.
“Beneran masak sendiri?” pertanyaan ini bukan berasal dari keponakan yang ia ajak bicara tadi, melainkan dari mamanya yang notabene adalah kakak kandungnya.
Wanita bernama Clara mengangguk. “Masa lupa, sih, kalau aku pernah jadi chef di salah satu restoran bintang lima sebelum buka restaurant sendiri?”
“Ah, iya aku lupa!” seru Tiara—sang kakak.
Sementara kedua anak laki-laki mereka tidak merespons percakapan mereka. Leon yang sibuk dengan ponselnya dan Galen yang menyantap makanan lezat di depannya. Leon dan Gallen memiliki usia yang sama, itu sebabnya kakak beradik itu menyekolahkan anak mereka di sekolah yang sama sejak sekolah dasar hingga saat ini. Namun, sayangnya, mereka tidak sekelas seperti saat SD maupun SMP.
“Mbak sendiri gimana? Nggak ada niatan ngelanjutin karir?” Pertanyaan Clara dibalas gelengan kepala. “Loh, kenapa? Bukannya Gallen udah gede?” menurutnya, sayang sekali jika karir sang kakak harus berakhir hannya demi mengurus anak.
Yang Clara ingat, alasan sang kakak menghentikan karir sebagai pengacara adalah karena sang anak yang ingin ia rawat sendiri.
“Papanya Gallen nggak ngizinin.” Wanita itu menjeda, ia menoleh menatap sang anak. Kemudian beralih menatap Leon yang sedang menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. “Leon?!” panggilnya dengan panik saat menyadari wajah keponakannya penuh dengan luka lebam. “Kamu berantem?”
Clara menghela napas kasar seakan perlakuan Leon selalu membuatnya ingin menyerah. “Apa lagi, Mbak, kalau bukan berantem,” sambung Clara.
Leon sempat melirik, sebelum berusaha untuk tidak peduli lagi. Ini bukan pertama kalinya ucapan itu dilontarkan sang mama di depan keluarga. Bahkan kalimat merendahkanseperti itu sudah menjadi makanannya sehari-hari. Saat ini Leon lebih ingin fokus bermain game daripada mendengar kalimat meremehkan itu.
“Seriusan? Kamu udah remaja, loh, jangan berantem mulu, ah—“
“Percuma Mbak! Leon emang nggak bisa dibilangin! Beda banget sama Gallen yang baik dan pinter,” ucap Clara lagi yang berhasil menarik perhatian Leon.
Cowok itu melirik mamanya dengan tatapan datar. Bagi Clara, Selain karirnya dan kekayan sang suami tidak ada lagi yang bisa ia banggakan. Termasuk apapun yang ada pada diri Leon. Bahkan sejak Leon kecil, ia tidak ingat prestasi apa yang sudah anak itu raih untuk membuatnya bangga.
Leon menyerah, lagi-lagi ia gagal menganggap ucapan Clara sebagai angin lalu. Ia berdecak dan menatap mamanya dengan dingin.
Clara melihat tatapan sinis itu, bukannya merasa takut, ia semakin membuat Leon marah dengan kalimat berikutnya. “Tuh, lihat. Mama nggak pernah lihat buka kamu tanpa luka lebam.” Clara menjeda ucapannya sebentar. “Setelah dewasa kamu mau jadi apa, coba? Prem—“
Ucapan Clara terhenti saat sang anak berdiri seketika hingga mengadirkan suara decitan saat kaki kursi bergeser dengan lantai.
Arah pandangnya masih mengarah pada Clara, dengan tatapan datar itu ia berharap sang mama mengerti bahwa ada luka yang baru saja tercipta karena ucapannya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.