“Kamu nggak boleh makan nasi putih, makan makanan cepat saji apapun itu dan nggak boleh minum air es! Uang saku kamu juga akan mama potong mulai besok!”Kalimat hukuman yang sang mama utarakan tadi malam masih terngiang jelas dalam ingatan Aretha. Memang, mamanya memberikan hukuman itu karena salahnya yang beberapa minggu ini tidak pernah berolah raga dan menyebabkan berat badannya naik dua angka dari angka seharusnya.
Aretha tidak menyangka bahwa berat badannya akan naik secepat itu, padahal selama ini ia sedang berusaha mengatur pola makan yang sesuai.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam saat sesak terasa dalam dadanya hanya karena ia tidak bisa berekspresi seperti seharusnya.
Seharusnya ia merasa marah, sedih, atau minimal merasa kesal atas perlakuan mamanya. Tetapi tadi malam, ia justru tersenyum dan dengan suka rela menyetujui tanpa berpikir bahwa hal tersebut merugikan dirinya.
“Bahkan orang gila tau caranya berekspresi ...,” gumam Aretha setelah menghembuskan napas kasar.
Di dalam mobil, Aretha berpikir keras harus makan apa siang ini. Mamamya bukan hanya memotong uang jajannya, tetapi juga menyita kartu ATM milik Aretha.
Gadis itu mengeluarkan uang berwarna hijau di sakunya. “Dua puluh ribu cukup beli apa, ya?” gumamnya sekali lagi sebelum lagu Scared to be lonely milik Martin Garrix menggema dari ponselnya, menandakan satu panggilan masuk.
Tidak butuh waktu lama untuk Aretha menjawab panggilan tersebut meski tidak mengenal nomor yang tertera di layar ponsel.
“Halo? Siapa, ya?”
“Gue Anya anak jurnalistik,” ucap seseorang di seberang sana.
Mendengar nama dan ekskul yang gadis itu sebutkan, Aretha mendadak diam. Untuk apa lagi anak ekskul jurnalistik menghubunginya jika bukan untuk wawancara atas kasusnya yang sedang ramai menjadi perbincangan.
“Sorry, gue lagi nggak bisa diwawancarai,” katanya dan berniat menutup panggilan sepihak.
“Eh-eh! Gue mau bantuin lo! Jangan ditutup dulu!”
“Gue nggak butuh bantuan lo—“
“Tapi gue punya bukti biar jabatan lo bertahan,” potong Anya langsung.
Menarik.
Aretha diam sebentar, tidak menyangka bahwa keajaiban memang akan datang pada waktu yang tepat.
“Temui gue di ruang ekskul jurnalistik pas pulang sekolah,” ucap Anya. Kemudian memutuskan panggilan tanpa menunggu jawaban Aretha.
Satu pukulan menerpa wajah Leon kuat. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Sean Alzegaf; musuhnya sejak bersekolah di Nusda. Alasannya sederhana; Leon tidak akan bersikap baik pada orang yang 'lebih' daripada dirinya dalam hal apapun, dan Sean termasuk dalam kriteria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obstinate
Teen FictionDi dunia, di mana segala hal terjadi. Di mana kamu bisa menjadi apapun. Sean Alzegaf, tumbuh sekeras batu. Merundung dan berlaku sesukanya, ia hidup sebagai cowok paling menakutkan, tidak pernah peduli dengan konsekuensi. Sean hanya ingin merasakan...