Act 2: 望み

161 30 14
                                    

Beberapa tahun lalu seorang pria tua yang mengaku sebagai peramal pernah berkata, pada tahun 2130, suatu kota akan diselimuti gas berbahaya yang dapat membinasakan masyarakat, di depan khalayak yang tengah berlalu-lalang di alun-alun kota Elder.

Orang gila, pikir mereka semua sambil melangkahkan tungkai mereka ke sana ke mari. Namun, hanya ada satu orang yang diam membeku meresapi ucapan pria tua itu dan dengan antusias membayangkan hal itu benar-benar terjadi di depan matanya. Tidak tahu saja omongan si peramal membuat idenya meletup-letup untuk mengembangkan percobaan gila.

Begitulah awal mula unit saikidou tercipta. Lahir dari bibit-bibit unggul yang kemudian dibedah ulang menjadi manusia kebal. Mereka tidak akan mati walaupun menghirup berpuluh-puluh ton gas berbahaya, bahkan sulit untuk merasakan kematian.

.

.

.

Joan tidak dapat melepaskan pandangan dari bangunan tua yang ada di hadapannya, bangunan tua menyerupai sekolahan terbengkalai itu entah mengapa menarik perhatian. Ini...laboratorium yang dimaksud? ia sempat ragu, namun akhirnya tetap melangkah mengikuti Eugene dan Aska. Kedua manusia berambut pirang itu tengah asyik mengobrol, mengabaikan Joan.

"Pedang ini dapet darimana? keren..."

"Keren, kan?" Eugene menunjukkan dua buah katana dengan bangga. "Pedang ini benda pusaka keluarga Sakai. Sejarahnya panjang, gue dapet dari kakek, terus kakek gue dapat dari kakeknya kakek gue terus... kakeknya kakek gue dapat dari kakek kakeknya kakek gue..."

Joan mengernyitkan kening, mendengar omongan Eugene yang berputar-putar.

"Nah, sekarang coba tebak...kakek kakekknya kakek gue dapet dari siapa?"

"Kakek dari kakek kakeknya kakek..." Betapa polosnya Aska, ia terbawa pembicaraan Eugene yang tak berujung. Wajahnya begitu serius berpikir. "Ng..."

"Silsilah pewaris pedang lo bikin gue jengkel."

"Wah, ada suara-suara gaib di belakang gue-" Kaki Joan langsung melayang ke arah kepala Eugene. Secepat kilat Eugene merunduk. Untunglah dia sukses menghindar dari kaki Sang Komandan yang sekeras besi. Bisa-bisa kepalanya copot kalau terkena tendangan Joan."H-hampir...aja..kepala gue..."

"Hm, refleks lo sekarang meningkat, ya?" Joan menyeringai.

"Lo-" Kata-kata Eugene terputus sebentar, "Lo berniat ngebunuh gue?"

"Tinggal restart, susah amat."

"Aska, jangan deket-deket Joan, dia psikopat!"Eugene menunjuk Joan dramatis, Aska tertawa kecil meresponnya, sedangkan itu orang yang ditunjuk santai-santai saja jalan memasuki gedung.

Sesampainya di dalam bangunan, yang ditemui Joan hanyalah kekosongan. Tidak ada apa-apa di sini, selain jendela yang memperlihatkan gelanggang olahraga di sebelah barat, meja resepsionis, dan lorong yang panjang. Tempat ini juga berdebu dan kotor. Banyak sarang laba-laba yang menghiasi setiap sudutnya. Lalu saat Joan mengamati sekitarnya, ada seseorang yang datang. Ia mengenakan jas lab dan masker anti gas. Seorang dokter.

Dokter itu berlarian ke arah mereka bertiga, membiarkan jas putihnya berkibar kemudian tanpa ragu tangannya menarik telinga Aska dan mencubitnya. "Siapa yang nyuruh kamu ke luar sendirian, hah?"

"Ah! maaf deh maaf...aku gak bakal ngulangin lagi."

"Haish, untungnya kamu gak papa. Oh..." Pria itu melakukan kontak mata dengan Joan. "Terima kasih, saya Dokter Lucas. Anda Komandan Joan, kan?"

Joan mengangguk.

"Lama tidak bertemu."

Eugene melempar pandang ke arah Joan. Namun, Joan malah menggeleng bingung. Lama tidak bertemu? Aneh rasanya mendengar kalimat itu, berhubung ini pertama kalinya ia bertemu dengan Dokter Lucas.

•[Restart]•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang