"Gue enggak mau bilang ini, tapi...misi kita jelas-jelas gagal, kan?" Di hadapan Joan, Lingga, dan Eugene, Naresh nampaknya sudah siap membombardir mereka dengan berbagai macam pertanyaan dan argumen. Ketiganya terdiam. Entah diantara mereka ada yang menyusun kalimat untuk merespon ataupun diam karena takut salah menjawab. "Yah, untungnya ada dua puluh tiga warga yang selamat termasuk Dokter Lucas, Jeno, sama Aska, tapi langkah selanjutnya gimana?"
Eugene memainkan katananya asal, Lingga berdeham panjang, dan Joan malah menyelonjorkan kakinya pada kursi kosong. Naresh jadi gatal memarahi mereka, "Kalian ini serius atau enggak? nyawa para warga dipertaruhkan!"
"Bentar, lagi mikir," ucap Joan singkat.
Giliran Lingga yang berbicara, "Abisnya gue bingung, Na. Mau bertindakpun...kita cuma ngejalanin apa perintah letnan. Masalahnya...saluran komunikasi terputus, sinyal juga gak ada."
"Mobil rusak," sambung Eugene.
Salah satu tersangka yang merusak mobil itu mengatupkan kedua tangannya, Lingga cengengesan, "Sori, itu gara-gara kita diserang. Lagian mobilnya masih bisa jalan."
"Diserang lagi?"
Naresh mengerutkan alisnya, "Penembak di mall?"
"Gimana ya bilangnya," gumam Lingga. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Ia bingung mau bercerita darimana.
"Singkatnya, kita ketemu beberapa orang di jalan layang, terus mereka ngejar dan nyerang kita. Yang ngebuat gue tertarik, orang-orang itu anggota angkatan darat." Setelah diam beberapa lama, Joan menjelaskan apa yang terjadi di daerah Anggrek.
"Tim Gagak?"
Joan mengangguk. "Bersama orang-orang misterius yang gue duga, rekannya Si penembak."
"Eh?" Eugene meletakkan katana dan mencondongkan tubuhnya. "Kok gitu?"
"Menarik, kan? kira-kira kenapa...mereka nyerang kita?"
Naresh tidak ingin berprasangka negatif, namun...
"Mereka membelot."
"Kenapa mereka membelot," tanya Eugene.
Joan mengedikkan bahunya.
"Kalau gitu...nasib Dirga sama unit khusus saikidou lainnya gimana dong?"
"Eugene kayak dora," ejek Lingga random.
"Kenapa jadi dora?"
"Tuhkan, pake nanya lagi."
"Salah gue apa ngab? giliran Nana yang nanya dibolehin."
"Ssshh." Telunjuk Naresh mengarah kepada Joan yang melamun menghadap papan tulis berukuran sedang kemudian cowok berstatus komandan itu beranjak dari kursinya, mengambil spidol dan mencoret permukaan papan tulis. Akan tetapi, spidol itu mengkhianati Joan. Iya, tinta spidolnya tidak nyata. Lantas ia menghela napas, memandangi spidol di genggamannya. Ketiga rekannya juga ikut menghela napas.
"Gini deh, gue bakal jelasin sekali. Saat ini, gue menduga penembak itu ada hubungannya sama orang di videotron. Kalian juga berpikiran sama, kan?" Pertanyaan Joan dijawab oleh anggukan mereka. "Alasan mereka ada di sini adalah mengawasi, apakah ada warga yang masih hidup...lalu membunuhnya, termasuk mencoba ngebunuh pasukan khusus seperti kita."
"Hey, kita gak bisa dibunuh semudah itu~" Eugene menertawai para penjahat itu yang langsung dibungkam oleh pelototan mata Naresh.
"Kayaknya mereka punya prinsip, gak boleh ada yang tersisa. Biar kenyataan gak terbongkar."
Naresh bertopang dagu, "Lo juga ternyata berpikir begitu, Jo?"
"Apa nih?" Kepala Lingga celingukan.
"Kita cuma dijadiin alat, tapi gak tau apa yang sebenernya terjadi di negara ini," jelas Naresh. "Apa tujuan gas itu dijatuhkan ke kota ini pun kita masih menerka-nerka. Apa alasannya berusaha menghancurkan New Batavia? kenapa presiden kita sempet disebut-sebut di videonya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
•[Restart]•
Fanfic"Pada tahun 2130, suatu kota akan diselimuti gas berbahaya yang dapat membinasakan masyarakat." Seorang peramal datang dan membicarakan hal yang sulit dipercaya, namun siapa sangka kenyataan seakan mengindahkan omongannya. 📌book ini mengandung unsu...