Act 9: 問題

55 7 3
                                    

Empat hari sebelum serangan gas,

Denting sendok dan garpu mengisi perbincangan para petinggi di sebuah aula besar nan megah. Chandelier utama menggantung di langit-langit, menyoroti seorang pria berusia 57 tahun yang saat ini tengah tersenyum sumringah. Suasana hatinya sangat bagus, Ia dikerumuni orang-orang hebat, dipuji tiada hentinya oleh mereka. Berbanding terbalik dengan seorang asisten profesor yang terdiam kikuk menghadap kaca gedung. Sangat amat kontras.

Ia adalah Lucas.

"Hasil pemilihan tinggal empat hari lagi. Rating anda tidak pernah turun dan terus melonjak naik. Rakyat tahu betul siapa yang cocok memimpin bangsa ini. Ini kedua kalinya anda terpilih."

"Kita masih belum tahu pasti."

"Anda terlalu merendah."

Dalam diam Lucas memperhatikan Tuan Min yang menjadi pusat perhatian sambil sesekali memantau keadaan ruangan. Pria yang mengenakan jas lab itu tidak terbiasa datang ke tempat seperti ini, menikmati makanan mewah dan suasana glamor. Alhasil ia hanya bisa termenung di pojok ruangan.

"Lucas." Tadinya Lucas berniat menatap pemandangan malam Kota Elder dari atas sini tanpa harus berbicara sepatah kata pun, namun seorang letnan datang menghampirinya.

"Y-yo, Hansen."

Ia dengan jahil memijat bahu Sang dokter kemudian berkata, "Tegang amat."

"Sori, abisnya aku enggak terbiasa dateng ke tempat-tempat kayak gini," katanya jujur. Hansen lantas tertawa mendengarnya.

"Nih." Segelas jus apel diberikan kepada Lucas. Orang yang diberi, menerima gelas itu menggunakan kedua tangannya.

"Thanks."

"Santai dikit dong." Hansen menyunggingkan senyumnya, "Kayaknya keadaan aman terkendali. Gak ada tanda-tanda bahaya."

Merespon omongan Sang letnan, Lucas mengangguk dan kembali melihat Tuan Min. Walaupun keadaannya baik-baik saja, ia tetap harus waspada.

"Email anonim itu belum kelacak," tanya Lucas, menajamkan sorot matanya.

"Belum, belum ada kabar dari Tim Gagak yang ngurus masalah itu."

"Oh...gitu, ya."

Lucas menatap gelasnya, email anonim...

Belakangan ini Tuan Min mendapatkan email anonim yang cukup membuat resah. Mungkin hal ini berkaitan dengan popularitasnya yang semakin meningkat, juga hasil rekapitulasi yang akan muncul empat hari kemudian.

"Lucas, kamu...percaya ramalan itu?" Lucas berhenti memandangi gelasnya dan menoleh. Hansen nampak gusar. "Pengirim email anonim juga membicarakan hal yang sama, serangan gas di suatu kota."

"Satu-satunya yang percaya ramalan itu cuma Nakamoto Yuta, aku cuma ngikutin perintahnya aja," jawab Lucas. "Kamu sendiri?"

Hansen terkekeh pelan. "Yah, sama, sih. Tapi apapun yang terjadi nantinya, kita pasti bisa ngelindungin kota ini."

Mereka berdua lalu terdiam menatap sosok pria yang berdiri tegak di tengah-tengah ruangan. Tuan Min tampak bersinar, seperti tidak menemukan masalah dalam menempuh kariernya sebagai presiden.

Ia sangat sukses menyembunyikan ketakutan dalam dirinya.

***

Jam berdetik, seiring dengan pergerakan tangan Naresh. Matanya terbuka lebar, menjelajahi luka yang tertoreh pada lengan Eugene, dan kinerja otaknya meningkat dua kali lipat mencari solusi yang memungkinkan untuk menjawab berbagai macam pertanyaan yang ada di benaknya, lalu secara tidak sadar ia menggumam pelan, "Darah menghitam, proses restart melambat..."

•[Restart]•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang