Act 5: 決意

137 23 19
                                    

makasih ye Ling_Ryu udah memberikan inspirasi di tengah krisis ide

betewe, happy reading kawan-kawan

====================

Eugene bersyukur karena Mingi dan Felix menangkap sinyal yang ia tembakan di langit New Batavia, namun juga mengeluh mengingat beberapa menit yang lalu segerombolan pasukan mengejar mereka dengan senjata api. Semua yang Joan ceritakan kemarin malam benar adanya. Orang-orang itu berniat untuk membunuh siapapun yang hidup di kota ini, baik warga setempat maupun unit Saikidou. Tidak cukup sampai disitu, kabar buruk kembali harus mereka hadapi,

Jalan layang sebagai akses menuju kota Elder dirubuhkan.

Kalau sudah seperti ini...bagaimana caranya mereka mengevakuasi warga di tengah kesulitan berkomunikasi dengan kantor pusat?

Eugene mendengus kesal sambil membersihkan wajahnya yang terkena noda darah. Katana kesayangannya yang semula bersih mengkilat pun kini berubah warna menjadi merah pekat. Bau anyir tercium begitu menyengat di sekujur tubuhnya, bercampur dengan keringat.

Mingi menepuk-nepuk pundak Eugene pelan. Ia tersenyum polos dan berkata, "Eugene, gue seneng bisa ketemu sama lo."

Eugene melirik tangan Mingi yang mendarat di pundaknya. Bulu kuduknya meremang, soalnya tangan Mingi dipenuhi darah...

"Aduh pinter, meper di baju gue," ringis Eugene. Bajunya jadi tambah kotor.

"Gue kangen sama lo." Mingi tetap melanjutkan omongannya tanpa mendengarkan Eugene.

"Iya, iya gue juga...tapi tangan lo bisa dilepas dulu gak..."

"Mingi, sini." Felix menarik lengan Mingi dan mengelap tangannya yang berlumuran darah. Sedangkan Mingi malah tertawa layaknya bocah umur lima tahun. "Lo ini bar-bar banget sih, kenapa juga mesti pake tangan kosong. Kotor jadinya kan?"

Jawaban Mingi adalah cengiran. Bagus, ada dua psikopat di sini, pikir Eugene. Ia bergidik ngeri, masih terbayang dibenaknya, Mingi yang membunuh komplotan penjahat hanya bermodal tangan kosong.

"Mingi, Felix!" Naresh berlarian menuju ke arah mereka, hampir ingin memeluk mereka, namun tidak jadi. Habisnya, "Baju kalian kotor banget..."

"Diserang." Eugene menjelaskan.

"Tapi Joan sama Lingga gak se-kotor kalian..."

"Lo natap kita udah kayak natap tai ngambang di kali."

"Mandi sana."

"Na, kalau makan dulu baru mandi boleh gak? laper...gue sama Mingi belom makan dari kemaren." Felix mengusap-usap perutnya. "Nanti masuk angin."

"Kalian ini bayi atau tentara sih. Enggak, pokoknya mandi dulu baru makan." Naresh tetap pada pendiriannya.

"Komandan ada di mana?" Mingi membulatkan tangannya seperti teropong.

"Lapangan."

"Mau ke sana," kata Mingi seraya mengangkat sebelah tangan yang langsung dicegah oleh Naresh.

"Mandi, Mingi. Susah banget gue kasih tau."

Sedangkan itu Eugene sudah berjalan memasuki gedung sekolah dan berhenti di dalam salah satu bilik kamar mandi. Keran shower yang tersedia ia putar, mengeluarkan air berwarna coklat pekat. Karena sudah lama tidak dipakai, airnya kotor. Ia menunggu beberapa menit sampai air yang ke luar menjadi jernih.
.
.
.

"Masih idup lo?" Joan menyapa Eugene yang baru saja duduk dengan membawa sepiring daging cincang dan kentang tumbuk.

"Masih dong, berterimakasihlah pada Sakai Eugene karena telah membantai habis pasukan biadab itu."

•[Restart]•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang