"Bapak-bapak, ibu-ibu, bangun! ini gak ada yang masih hidup, nih? Diskon! diskon! bu, bajunya diskon 50 persen! Pak, rokoknya, pak!" Lingga berteriak kencang. Ia pikir dengan begitu warga-warga yang terlelap bisa bangun. Asalkan bangun-bangun jangan jadi zombie, kalau jadi zombie kan repot juga.
"Berisik." Joan mengambil walkie talkie dari saku dua orang polisi yang tergeletak tak bernyawa di dekat lampu lalu lintas kemudian melemparnya begitu saja ke arah Lingga. Untung Lingga sigap menangkapnya, jadilah sekarang walkie talkie itu ada di genggamannya.
"Joan! bisa gak, jangan tiba-tiba?"
"Sori," ucap Joan singkat. Ia mengotak-atik barang itu. "A, a, a, cek, satu dua. Suara gue ada di lo gak?"
"Iya ini ada."
"Beruntung banget kita dapet ini."
Lingga menatap walkie talkie itu, matanya berbinar. Sepertinya benda ini bisa menjadi pengganti earpiece-nya yang rusak. Ah, soal earpiece, Lingga benar-benar tidak paham kenapa alat komunikasinya mendadak tidak berfungsi, bukan cuma Lingga, punya Joan juga tidak bisa digunakan. Jadi jangan salahkan Joan kalau ada niatan untuk membuang earpiece itu. Rongsokan, katanya. Namun Lingga memungutnya, ia penasaran dengan nasib earpiece mereka, dan lagipula hanya dengan benda kecil yang terpasang di telinganya itu anggota Pasukan Elang bisa saling mengabari satu sama lain-termasuk melapor kepada atasan mereka.
"Lo gila ya? mau kena omel letnan dan status komandan lo dicabut," semprot Lingga.
"Udah gak bisa dipake."
"Siapa bilang?" Kepala Lingga menggeleng frustasi, menghadapi Sang komandan yang selalu berbuat seenak jidat.
"Lo." Telunjuk Joan mengarah kepada Lingga.
Gue bilang, earpiece gue gak berfungsi bukan berarti gak bisa dipake, batinnya sibuk berkomentar. "Pokoknya jangan dibuang."
"Terserah." Joan mengecek detector, menyipitkan mata. Setelah mengecek keadaan, telunjuknya mengarah ke arah jam sembilan. "Sebelah sana gasnya tipis, zona kuning. Siapa tau masih ada orang yang hidup. Kita coba ke sana sambil nunggu Eugene."
"Hah?"
Tanpa menjawab Lingga, Joan sudah lebih dulu berlari meninggalkannya.
"Jo! elah!" Mau tidak mau Lingga ikut-ikutan lari.
Setelah berlari selama 10 menit lamanya, Joan berhenti tepat di depan mall. Tanpa pikir panjang ia memasuki mall itu, sedangkan Lingga masih mencoba mengecek denyut nadi orang-orang yang ada di jalanan.
Napasnya tertahan, melihat lautan manusia yang terkapar tidak berdaya. Memang ini zona kuning, tapi tetap saja kalau gasnya sangat beracun, manusia biasa akan mati bagaimanapun juga.
Joan mengambil senter dari tas kecilnya. Telinganya ia tajamkan. Matanya ia pejamkan. Dari sini ia bisa mendengar suara isak tangis seseorang.
Ada yang masih hidup.
Joan berlari mendekati sumber suara. Di sebuah restoran cepat saji yang kondisinya sudah tak karuan, terlihat seorang anak perempuan tengah memeluk siswa SMA berambut pirang yang terduduk lemas dengan kaki bersimbah darah.
Ia buru-buru menginformasikannya lewat walkie talkie,"Lingga, masuk ke dalem mall, buruan. Ada yang masih hidup! lokasinya di restoran cepat saji MnD!"
Namun, saat berbicara dengan Lingga lewat walkie talkie, cowok berambut pirang itu mengarahkan pistol ke arahnya. Ternyata, Ia juga masih hidup.
"S-siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
•[Restart]•
Fiksi Penggemar"Pada tahun 2130, suatu kota akan diselimuti gas berbahaya yang dapat membinasakan masyarakat." Seorang peramal datang dan membicarakan hal yang sulit dipercaya, namun siapa sangka kenyataan seakan mengindahkan omongannya. 📌book ini mengandung unsu...