Act 3: 恐怖

134 29 22
                                    

Bagai terhipnotis, tidak ada satu pun orang yang bergerak. Mereka menatap layar videotron. Segala aktivitas terhenti hanya untuk melihat video berdurasi lima menit yang terputar di sana, merasakan kekalutan dalam diri mereka yang membuncah tiap detiknya.

"Saya punya hadiah untuk anda pak presdir, sebagai ucapan selamat karena telah memimpin bangsa ini dalam waktu dua puluh tahun lamanya. Pasti bapak sudah tau, kan? Iya, ini tentang ramalan sepuluh tahun lalu...apa..anda sudah lupa? Saya kan sudah mengingatkan anda lewat email loh, jangan mengabaikan saya dong."

"Oh iya, saya juga ingin memberitahu para penduduk Kota New Batavia. Saya akan mengirimkan paket spesial ke sana. Apa saya harus memberitahu waktunya?"

"Ah...perlu ya sepertinya...."

"Bagaimana kalau jam satu siang? itu waktu yang pas, jadi kalian harap bersiap-siap ya? sampai ketemu nanti."

.
.
.
.
.
.
.

"Jo, jangan cuma ambil makanan sama minuman doang, tapi kalau bisa selimut juga ya, ini gue liatin udaranya makin sore makin dingin." Dari seberang sana Naresh menghubungi Joan lewat walkie talkie. Suaranya tertutup keramaian di laboratorium.

"Iya, beres."

"Lo langsung ke lab atau gimana? posisi kalian sekarang ada di mana?"

"Ini lagi patroli dulu sebentar. Sekarang kita ada di..." Joan mencolek bahu Aska karena jujur, ia tidak tahu nama daerah yang sedang mereka pijak.

"Anggrek, kak," jawab Aska.

"Anggrek, Na."

"Lo ketemu Mingi-Felix?"

"Sejauh ini belom, mungkin mereka ada di daerah lain."

"Kalau Dirga?"

"Apalagi dia."

"Yaudah, kita cari mereka besok. Jangan terlalu lama di sana."

"Dimengerti."

Lingga berjalan menghampiri Joan dan Aska dengan wajah kusut. "Gue ngerasa apa yang dilakuin Profesor Nakamoto sia-sia."

"Kenapa?"

"Ya, lo liat aja keadaannya sekarang," ucap Lingga. Tangannya dibentangkan, menunjukkan kumpulan jasad manusia di hadapannya. Sungguh miris, mengingat tujuan mereka diciptakan adalah untuk menghentikan hal ini terjadi. "Jadi, apa rencana selanjutnya? lo udah mikirin belom, komandan?"

Joan menengadahkan wajah, membiarkan langit di sore hari menyapanya. Ia sama sekali tidak menjawab Lingga, lebih tepatnya ia tidak tahu harus menjawab apa.

Terdengar bunyi sepatu yang bergesekan dengan aspal, rupanya itu Aska yang berjalan beberapa langkah lebih jauh membuat Joan berseru lantang, "Aska, jangan jauh-jauh dari gue!"

Namun, Aska tetap melangkah seperti tengah dibujuk oleh seseorang.

"Aska," panggil Joan sekali lagi.

Cowok berambut pirang itu menghentikan laju kakinya tepat di depan jasad seseorang. Mata Joan menyipit, mendeteksi tubuh tak bernyawa itu lalu sesaat kemudian Joan paham. Jasad yang terbalut seragam putih abu-abu itu sepertinya salah satu teman Aska.

"Temen kamu," tanya Lingga.

Aska menoleh, mengangguk pelan. Bola matanya sedikit bergetar dan rapuh. Bagaimana tidak? rasanya baru tadi ia mengobrol santai dengan teman sekelasnya itu, tapi sekarang ia sudah terbujur kaku.

Aska menggenggam tangan temannya. Sejak kapan tangannya sedingin ini? Ia tidak berkata apa-apa, hanya dapat diam membisu, terlarut dalam pikiran.

•[Restart]•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang