3.1 tertium-one

71 16 0
                                    

"Semua nyawa itu berharga,tak terkecuali para pendosa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Semua nyawa itu berharga,
tak terkecuali para pendosa."

👣

Semilir angin mengepakkan ujung belakang jilbab Safira. Kepalanya tertekuk murung ditemani jejak air mata yang mengering di pipi. Pandangannya tak lagi berkaca-kaca. Ia sudah lelah menangis dan lelah pula untuk hidup.

Dua lututnya bergetar lemas. Terpaan angin dingin tak membantu. Kerlip lampu gedung malam hari menebarkan kemewahan tak berarti. Di atap apartemen, Safira berdiri dan berpegang erat pada pagar pembatas.

Kepalanya berputar pening setiap melihat trotoar di bawah sana. Bulu romanya serentak berdiri. Jantung memompa darah lebih cepat ke seluruh tubuh. Gadis itu menghela napas dalam sampai paru-parunya terasa sesak, kemudian memejamkan mata. Kaki kanannya menapak palang besi pertama.

"Kau benar-benar ingin mati?"

Pegangan Safira hampir terlepas. Ia memekik seraya menjatuhkan diri ke belakang. Suara debaman nyaring mengiringi tabrakan antara punggungnya dengan lantai semen.

Safira mendongak, mendapati seseorang ber-hoodie hitam tanpa corak membelakanginya. "Si- siapa?"

"Tidak penting kau tahu aku siapa," tegasnya pelan, suaranya tak dapat didefinisikan sebagai lelaki atau perempuan. "Yang penting sekarang apa kau memang ingin mati?"

Safira membawa tubuhnya duduk. Ia menatap kedua telapak tangannya yang memerah akibat mencengkeram erat palang besi. Berbagai ingatan seketika berseliweran di dalam kepalanya. Membawa gelombang nostalgia yang tiba-tiba dan mengundang rasa ragu ke dalam dadanya.

Ia menutup wajah, kembali memikirkan segalanya. "Iya. Aku ingin mengakhirinya di sini."

Sosok berjubah hitam itu melangkah menjauh. Gesekan sepatunya semakin lama semakin pelan. Safira merasakan kesepian menikam dirinya. Ia sungguhan ditinggal sendiri setelah kalimat ...

"Berdiri dan matilah."

👣

Bunyi resleting tas mengisi kesunyian kelas. Arkan celangak-celinguk, memastikan tak ada seorang pun di sana. Tangannya yang dilapisi tisu menceluk dalam dan tanpa sengaja mengaduk isi tas. Lidahnya mendecak berulang kali ketika benda yang diincar belum tampak hilalnya.

Lewat kaca jendela, terlihat di bawah sana dua geng populer sekolah sedang tanding sepak bola. Murid-murid yang menonton bersorak nyaring, mengelukan nama pemain idola mereka. Arkan sekadar menonton dalam diam. Setengah pikirannya fokus meraba satu per satu benda di tengah lautan kekacauan dalam tasnya.

"GOL!"

Sorak sorai menandai gol pertama yang berhasil dicetak. Secara tak langsung juga mengiringi Arkan yang menjumpai benda incarannya. Pemuda bertubuh agak pendek dan gembul itu menggigit bibir demi menahan senyuman yang menjadi-jadi.

12 Cara BerdalihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang