6.2 sextus-two

19 2 0
                                    

❝Semua orang terlahir dengan hati,
tapi tak semua memiliki empati.❞

👣

Mata demi mata yang mengikutinya menghadirkan perasaan tak nyaman. Dheya meraba permukaan roknya. Perlahan ia mencoba menurunkan sepotong pakaian yang sedikit di atas lutut tersebut.

Dheya benci perhatian bercampur pandangan mesum yang ia dapat di sekolah. Rambut bergelombangnya selalu berusaha ditarik dan dielus pemuda-pemuda kurang ajar. Bahkan beberapa dari mereka terang-terangan mencoba menyentuh bokong dan dadanya.

Dheya tidak pernah suka perhatian semacam itu. Berbeda dari pandangan kagum ketika ia berjalan di runway. Atau saat ia menerima penghargaan atas gaun yang didesainnya sendiri.

"Ke sekolah atau mau ke bar, Neng?"

"Satu jamnya berapa?"

"Bisa disewa, nggak?"

Pertanyaan-pertanyaan itu mendidihkan darah Dheya. Langkah kakinya akan tergesa meninggalkan tempat itu. Seraya melirik penuh dendam kepada si pelaku. Namun, mereka tak terlihat jera.

Setelah terpilih sebagai Superior, Dheya pikir ia akan terhindar dari godaan para siswa Reguler. Akan tetapi, ia justru memperoleh perlakuan serupa dari sang wali kelas.

"Hei, Dheya."

Bulu kuduk di sekujur tubuh Dheya meremang. Ia mencengkeram erat tali tas punggung. Panggilan dari Pak Dewa membuatnya membeku di tempat. "Iya, Pak?"

"Buru-buru sekali. Mau ke mana, hm?"

Tangan Pak Dewa menangkup kedua bahu Dheya. Gadis itu meneguk ludah, menyusun kata-kata yang tercekat pada tenggorokannya. "Tidak ke mana-mana."

Sang guru bergumam pelan. Sepasang tangan tersebut mulai menyusuri lengan Dheya perlahan. Tubuhnya kaku dan Dheya tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa menggigit bibir, tak sanggup merintih ataupun berteriak.

Pak Dewa menyibak pelan rambut bergelombang Dheya. Helaian surai hitam itu dibawanya menuju hidung, menghirup aromanya dalam.

"Cantik sekali. Bapak tahu banyak anak laki-laki yang tergila-gila padamu."

Sebulir air mata menuruni pipi Dheya seraya ia memberontak. Namun, kedua tangannya lekas ditahan dan dicengkeram kuat. Tubuhnya yang gemetar hebat diseret paksa menuju meja guru.

"Aduh!" pekik Dheya pelan. Pinggangnya baru saja menabrak tepi meja setelah ia didorong.

Sosok Pak Dewa yang jelas lebih tinggi dan masih bugar di usia 40-an memerangkap Dheya di antara tangannya. Dheya menahan gurunya itu agar tak datang lebih dekat lagi. Pintu kelas yang tertutup rapat menjadi pertanda pupusnya harapan Dheya untuk diselamatkan.

"Pak, biarkan saya pergi!"

Dheya mendorong Pak Dewa dengan kekuatan yang tersisa. Tubuhnya limbung ketika dibaringkan paksa ke permukaan meja. Dheya menggeleng kuat, rambutnya sama berantaka seperti akal sehatnya sekarang.

"Pergi ke mana? Hah?"

Blazer biru dongker Dheya dilempar ke lantai. Rompi hitamnya juga dilepas begitu saja. Berulang kali Dheya memukul wajah sang guru, tapi pria itu tak juga menyerah.

Kini Dheya terisak tak berdaya. Badannya hanya terbalut kemeja yang kancingnya terbuka sebagian. Hati serta harga dirinya porak poranda bagai diterjang angin topan. Terasa sengatan kecil pada kakinya yang memantik keberanian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 09, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

12 Cara BerdalihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang