1.2 primum-two

80 27 7
                                    

"Selalu ada kemungkinan,
bahkan setelah jiwanya pergi."

















👣


"Heh, cepetan hapus video Safira. Bahaya!"

Kantin seketika ramai. Siswa Reguler yang mengenakan jas hitam bergumul. Jari mereka menari cepat di atas layar ponsel. Jejak demi jejak video Safira yang tersebar luas segera mereka hapus.

Wajah-wajah itu tak bisa menyembunyikan rasa syok. Para murid perempuan mengaduk makanan mereka, tak berselera. Sedangkan para lelakinya membulatkan mata membaca postingan akun-akun lambe turah.

"Nggak disangka Safira meninggal. Bunuh diri katanya."

Halaman pencarian di Instagram kini dipenuhi berita kematian Safira. Belum lagi tagar terkait dirinya juga trending di Twitter. Orang-orang memposting foto terbaik gadis itu dan mengungkapkan rasa berkabung mereka. Entah Safira akan senang mengenai hal ini atau tidak.

Ada begitu banyak orang waras yang menyayangkan betapa bedanya respons publik ketika Safira masih hidup. Kasus pembunuhan ini memang mengubah segalanya, menjadi titik putar balik bagi siapapun yang terlibat. Termasuk seseorang yang berdiri di depan lemari pendingin minuman kaleng. Luna.

Jemari Luna melingkari kaleng soda yang telah kosong, kemudian diremasnya perlahan. Raut mukanya datar seperti triplek. Kedua mata coklat kehitaman itu menyorot tampang sok berduka dari siswa-siswa yang merekam diri mereka sendiri—mengunggahnya dengan tagar '#SemogaTenangDiSanaSafira'.

Luna tersenyum, terkekeh pelan. Ia meraba saku roknya. Seketika matanya melebar. Tangannya panik menceluk kantung rok dan blazer. Namun, benda yang dicari tidak ada.

Bel tanda masuk berbunyi. Istirahat sudah selesai, otomatis para siswa Reguler berdesakan keluar kantin. Jas biru dongker milik Luna tenggelam di antara lautan hitam itu. Beberapa dari mereka melirik, tapi tak peduli.

"Dia pasti depresi, sih. Lihat aja reaksi dia yang viral kemarin. Mentalnya udah terganggu duluan."

Sebuah bisik-bisik didengar Luna datang dari dua orang gadis yang berjalan bergandengan.

"Anak-anak sekolah kita banyak yang hujat dia, bahkan dari yang kutahu ada juga ngirim pesan teror."

"Keterlaluan nggak, sih? Mereka sudah bikin Safira menderita sebelum mati."

Luna langsung menundukkan kepala. Ia meremas ujung roknya. Matanya mengerjap seiring dengan bahu yang naik-turun mengontrol napas. Sebuah lautan emosi menggelegak di dalam dirinya. Luna tak paham kenapa, tapi ia ingin rasanya mencekik Safira yang bahkan sudah tak lagi di dunia.























"Safira memang ada bilang mau bunuh diri ke saya."

Pengakuan dari Ibu Safira membuat si detektif wanita tergugu. Namanya Kasih, bertanggung jawab atas kematian Safira. Gadis malang tersebut ditemukan dalam keadaan tulang hidung dan pipi patah, wajahnya berlumuran darah, seluruh tulang tangan dan kakinya mengalami dislokasi.

Dengan ditemukannya mayat dalam posisi tengkurap, polisi yakin Safira memang menjatuhkan dirinya sendiri. Namun, Kasih tetap terkejut mendapati fakta kalau Safira memang punya niat mengakhiri hidup.

12 Cara BerdalihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang