❝Melawan seorang guru yang bermasalah,
apakah kita masih disebut tak tahu diri?❞👣
"Luna."Langkah si pemilik nama langsung terhenti. Luna memejamkan mata sebelum membalikkan badan. Ibunya tak lepas melirik sambil menyesap teh hangat dari cangkir yang dilukis ekslusif untuk keluarga mereka. Tak lupa ia juga menutup lembar majalah, lalu melipat tangan dan mengalihkan pandang kepada anak gadisnya.
"Jawab dengan jujur." Wanita empat puluhan yang masih terbebas dari flek itu berucap lembut, tapi tegas. "Pada malam kematian gurumu, kamu ada di mana?"
Tangan Luna memilin tali tas yang digenggamnya. Ia meneguk ludah susah payah. "Luna sedang les waktu itu, Bun."
Tak ada respons. Luna menunduk dalam. Tatapan ibunya yang seakan membolongi kepala terus terasa. Udara seketika sesak baginya. Luna berdeham beberapa kali seraya membenarkan seragam yang sebetulnya masih rapi.
Kedua kaki Luna saling menggesek saat suara sang ibu terdengar lagi. "Tapi dari laporan guru lesmu, kamu terlambat masuk di jam persis kematian gurumu itu."
Luna tersentak. Diam-diam ia mengintip dari balik poni. Mata ibunya semakin membulat tajam. Penuh tanda selidik dan kekecewaan. Menatapnya dari kepala sampai kaki.
Gurunya memang tidak salah. Ia terlambat masuk. Les yang setumpuk pasti membuatnya merasa bosan. Apalagi itu adalah les terakhir yang harus ia hadiri. Terlambat sedikit saja, tidak meletakkannya dalam sorotan tersangka, bukan? Itu hanya kebetulan bagi Luna.
"Teman dekatmu, Safira juga mati tak lama ini. Bunuh diri malah. Permasalahan tambah rumit. Jangan sampai kamu melakukan tindakan seperti itu, walau nanti kamu dijadika tersangka berpotensi." Majalah dilempar wanita itu dari sofa ke meja.
Jemari Luna yang melingkari gagang pintu kamar, kemudian terkulai di sisi tubuh. Ujung bibirnya bergerak getir. Dua gigi atas mematuk bibir bawah kuat. Nama Safira yang bergema dalam kepala membuatnya muak.
"Aku bukan Safira," desis Luna di sela helaan napas. Kemudian ia meninggikan suara. "Jangan bahas Safira lagi!"
Bahu ibunya berjengit ketika Luna membanting pintu kamar. Kedua matanya memicing seolah bisa melihat menembus pintu. Perhatiannya lantas teralihkan kepada pesan dari grup keluarga yang baru masuk berisi undangan jamuan makan.
Di dalam kamar, Luna melepas kaus kakinya tergesa dan langsung melemparnya ke basket pakaian kotor di sudut ruangan. Ia mengempaskan pantat pada kasur yang empuk. Punggung Luna ingin bertemu kasur, tapi sakit kepala menahannya. Luna menyibak poni yang hampir menutupi mata, memandang karpet bulu putih dengan bercak kotor di banyak sisi.
Dalam beberapa detik sunyi, Luna menatap gamang entah ke mana. Tangannya mengusap wajah bolak-balik. Merasakan hawa hangat yang mulai merayapi kulitnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
12 Cara Berdalih
Mystery / Thriller❝Bahkan kematian tidak bisa menyelesaikan kekacauan ini.❞ Apa yang lebih mengerikan selain mendapati orang yang kau kenal terbunuh mengenaskan? Panca menyaksikan sendiri tubuh wali kelasnya teronggok tak bernyawa. Kini ia dan sebelas teman sekelasny...