Suara motor terdengar berdecit nyaring, disusul dengan suara beradunya besi dengan aspal. "Aw, sial!" ujar si pengendara menggerutu, sembari berusaha menyingkirkan motor yang kini menimpa sebagian tubuhnya.
"Lu mau cari mati?!" ujarnya kemudian, berteriak pada manusia yang tadi membuatnya kaget sehingga mengerem motor yang sedang melaju cukup kencang.
"Kau tidak apa-apa?" tanya lelaki dengan kaos putih berbalut kemeja biru yang menjadi ciri identitas program studinya. Bukan, bukan pada manusia yang sedang berusaha bangkit dari jatuhnya pertanyaan itu diajukan. Tetapi, pada seekor kucing yang sekarang sedang di pangkuan pria yang lebih muda.
Jae, lelaki yang baru saja jatuh dari motornya itu tak habis pikir, lelaki manis di hadapannya ini rela meloncat ke tengah jalan hanya untuk menyelamatkan seekor kucing kecil. Tunggu, apa barusan Jae bilang lelaki itu manis? Sudahlah, abaikan saja.
"Heh! Lu gila, ya?!" intonasi suaranya kian meninggi seiring emosi yang melejit. Teriakan itu membuat lelaki yang awalnya sibuk mengecek keadaan sang kucing akhirnya mengalihkan pandangan.
"Bisa enggak, sih, kalau naik motor itu enggak usah ngebut?! Ini daerah kampus, banyak orang dan hewan berkeliaran. Untung aku melihat kucing ini. Kalau tidak, bisa terjadi adegan berdarah!"
Jae menghela nafas panjang, cerocos pria yang kini menggendong kucing yang telah ia selamatkan tadi membuat kepalanya berdenyut nyeri.
"Drama banget, cih!" Jae menggumam, sembari berusaha bangkit. Pria di hadapannya melotot tak terima, hendak kembali mengomel namun urung melihat jaket pria di hadapannya robek, menyisakan luka yang lumayan besar.
"Tunggu," ujar lelaki muda itu.
Jae hanya melongo, mematung melihat lelaki itu mengantar si kucing ke seberang, lalu kemudian kembali pada posisi semula.
"Ini, lukamu harus diobati." Jae lagi-lagi terdiam, kemudian menerima plester luka dan sebotol air minum.
"Cepat bersihkan, aku tunggu."
Tatapan bingung Jae membuat si lelaki mengerti, kemudian kembali berucap "Itu botol minum Tvpperware, ibuku bisa mengomel kalau aku tak membawanya pulang." terangnya panjang lebar.
Jae mengangguk patuh. Entah kenapa, mahasiswa teknik tingkat dua itu tetiba seperti orang linglung, hanya mengangguk kemudian mengikuti keinginan lelaki muda itu.
Mereka akhirnya memilih menyingkir ke bahu jalan, pria yang lebih muda membantu Jae membawa motor gedenya. Setelah keduanya duduk di trotoar, Jae akhirnya mulai mengobati lukanya. "Aw" lelaki yang lebih tua berteriak kesakitan. Bahu sebelah kanannya sakit saat ingin membersihkan luka di siku kirinya. Sepertinya, anggota badan salah satu guitarist band terkenal di kampus itu keseleo saat jatuh tadi.
Yoon Dowoon, lelaki yang Jae ketahui namanya dari name tag di kemeja biru yang digunakan itu berucap, "Wajahmu terlihat masih muda, tapi sepertinya badanmu tidak." Jae mendelik. Apakah lelaki di hadapannya ini tidak tahu bahwa bahunya itu terlalu rapuh untuk menahan berat badan serta berat motornya tadi?
"Hehehe, bercanda." ujarnya kemudian, tidak enak melihat raut wajah Jae yang mengekspresikan bahwa emosinya telah melebihi taraf wajar.
"Sini, aku bantu" Lelaki itu akhirnya mengambil alih plester dan botol minum miliknya yang tadi Jae genggam. Dengan telaten, lelaki itu membersihkan luka di siku Jae dengan air, mengeringkannya dengan tisu dan menempelkan plester luka.
"Lain kali, tidak usah ngebut kalau naik motor. Lagi pula, malaikat maut akan berbaik hati dengan datang sendiri kalau waktunya tiba. Jadi, enggak usah memancing emosinya, ya. Mati itu menakutkan." Lagi, Dowoon berceloteh. Sepertinya memang lelaki itu tak bisa diam.
"Lukamu sudah aman, jangan lupa ganti plesternya. Aku pergi dulu."
Ahh, akhirnya dia mengucapkan salam perpisahan.
Punggung kecil itu semakin menjauh, kemudian hilang dari tatapan saat dia berkelok di persimpangan jalan yang tak jauh dari tempat Jae memperhatikan.
Lelaki kurus yang lukanya sudah diobati itu segera beranjak, berniat kembali melanjutkan perjalanan sembari menaiki motornya. Namun, ada sebuah benda yang jatuh saat ia berdiri.
Mampus, itu anak bakal diomelin ibunya
Jae tersenyum, memungut botol air yang ditinggalkan pria bernama Dowoon tadi untuk kemudian memasukannya ke dalam ransel.
***
"Dari mana saja kau, Wonpil?" suara berat itu menyapa lelaki dengan senyuman cerah yang baru saja datang.
"Hehehe. Maaf ya, tadi ada kucing hampir tertabrak. Jadi, aku menolongnya dulu. Kamu sudah nunggu lama, ya?"
Pria yang ditanya hanya menggeleng "Enggak, hanya sekitar 15 menit, mungkin?"
Wonpil mengangguk paham.
"Oh iya, ini kemejanya aku kembalikan. Aku lupa mata kuliah Ibu Wijaya mewajibkan mahasiswanya memakai korsa Prodi. Untung ada kamu, kalau enggak, aku bakal diusir dari kelas." Ah, lagi-lagi lelaki itu banyak bicara.
"Yaudah, yuk, Woon kita pulang."
Dowoon cengo. Bukankah ia yang seharusnya mengatakan hal tersebut? Terlebih, ia telah menunggu dan Wonpil-lelaki yang baru saja mengembalikan kemeja birunya itu-hanya menumpang di motornya.
Dasar Kim Wonpil tidak tahu diri!
YOU ARE READING
MELLIFLUOUS | Jaepil
Roman d'amourmel‧li‧flu‧ous /məˈlɪfluəs/ (adj) A mellifluous voice or piece of music sounds pleasantly smooth. Musik memang milik semua orang, namun Kim Wonpil hanyalah milikku seorang -Jae Ft. Day6 Members