Memori Kereta, Tantangan kedua - Bab 2

31 2 4
                                    

"Insan lain bisa menampik kenangan rasa yang sudah usang dibenaknya, mengubur dan mencari suatu yang baru walau kadang terasa ambigu diawal bertemu. Tapi kenapa itu sulit untukku?"

"Lalu apa kelebihan dirinya yang bisa membuat kacau perasaan ini?, sebegitu lemahnya kah aku ini menghadapi rasa bersalah pada cinta pertamaku? .... Sial"

================================

"Mba mus ... tunggu!"

Bram mencoba memanggil nama yang sempat ditawarkan sebelumnya. Namun Rana tetap dengan langkah arahnya, gerakan lemah anggun itu sudah beralih lincah. Terlihat kedua tangannya menahan lipatan rok hitam agar sedikit terangkat, menambah jangkauan langkahnya.

"Bunda Mustika ... tunggu!"

Teriakan Bram kali ini berhasil menghentikan langkah cepat itu, Rana menoleh dengan tatapan tajam seperti menahan amarah.

"Bunda Mustika ... jangan cepat-cepat ... saya mau bareng Bunda!"

Manja Bram dengan napas memburu, hasil perjuangan melewati tumpukan penumpang yang memaksa masuk mengacuhkan kalimat antri dari petugas.

Senyum Bram seakan tak peduli respon tak sedap dari sosok yang menghampirinya dalam sekejap. Beberapa pejalan kaki sekilas tertawa geli mendengar sapaan mesra pemuda yang merengek pada gadis seumurnya.

"Siapa lu?, ngapain ngikutin gue?, gak kenal gue sama lu! ... dan jangan pernah panggil gue Bunda Tika lagi ... inget itu!"

Telunjuknya tepat dihadapan wajah Bram yang sedang mengatur napas. Suara lembut Bunda Mustika sudah hilang, kini berubah lantang, raut mukanya tegas. Ia kembali beranjak pergi setelah membuat Bram 'mati kutu' seketika.

"Gila ... makin cantik kalau marah, Bunda Mustika itu pasti hanya kamuflase biar si kumis tadi illfeel," benak Bram malas menyimpulkan lebih jauh.

Rasa percaya diri Bram Harlan memang cukup tinggi. Anugerah paras yang terbilang rupawan dengan lesung di pipi kanan kiri, membuatnya cukup populer sebagai penakluk wanita di tiap sekolah maupun kampus.

"Shairana ... maaf!." Hosh hosh

Bram masih mengatur napasnya. Pikiran dan raganya seperti tak bisa dikendalikan.

"Aku selalu cari kamu Ran, gak ada yang bisa kasih tahu kamu dimana, aku minta maaf udah salah sama kamu ... ini aku, Bram Harlan ... SMA Garinda!"

Suara parau penanda pasrah perlahan keluar dari mulut Bram. Berkhayal mampu meluluhkan hati cinta pertamanya, dan berakhir ciuman manis diiringi lagu Melly Goeslaw di tengah keramaian seperti adegan film 'AADC' favoritnya.

Melihat wanita itu kembali berbalik tanpa senyum, berjalan dengan langkah gagah membuat Bram ciut menunduk, tak berani menatap sorot bola mata tajam yang memenuhi kelopak mata seperti ingin keluar.

"Mata sayu Rana ternyata bisa seseram itu," lirih Bram sembari senyum mencuri pandang, mengagumi kecantikan 'si freak' Rana dari dekat, yang dulu ia kenal hanya seorang gadis pemalu dan cengeng.

****

Tangan Rana yang sebelumnya terlihat lembut itu, bergerak kasar menarik lengan sweater sampai ke siku, nampak jelas tonjolan otot kencang di kulitnya yang putih, terlihat atletis dengan hiasan guratan luka bekas jahitan sekitar 15cm di lengan kanannya.

Pundak layu milik Bunda Mustika kini berganti tegap seperti tentara. Dengan sedikit membungkuk mendekatkan raut wajah geramnya yang sebagian terhalangi rambut terurai, jemari kanan itu menggenggam erat kayu konde yang cukup panjang seperti ingin menusuk sesuatu.

5 Bayang RanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang