11. Wound Secret

69 11 6
                                    

Tekan vote dulu ya sebelum baca, biar saya punya semangat untuk tetap menulis kkkk

•••••••

Arlan menatap kosong lantai marmer di depannya. Suasana ruangan itu begitu terasa seperti mencekik lehernya dengan sangat kuat. Tatapan penuh kemarahan dan kekecewaan ditujukan pada seseorang yang duduk di sampingnya. Meski sebenarnya, dirinya lah yang seharusnya mendapatkan sorot mata kemarahan dan kekecewaan dari semua orang dalam ruangan tersebut.

"Bisa kamu jelaskan maksud dari kekacauan yang terjadi ini?" Terdengar suara dengan nada geram dari Hanung-ayah Alena. Pria itu menatap putri sulungnya dengan tegas, sementara Karina tak berhenti menangis dan berusaha ditenangkan oleh Widya-ibu Arlan.

Alena perlahan mengangkat kepalanya, namun masih tak memiliki keberanian untuk menatap mata kedua orang tuanya secara gamblang. Dia tahu benar bahwa tindakan yang dia lakukan menghancurkan semuanya, tapi dia bisa apa jika ini adalah satu-satunya cara agar dirinya berhenti diselimuti oleh perasaan bersalah dan tekanan. Alena tak kalah hancur dan kacau dari keluarganya. Perasaannya bahkan lebih terluka dari yang mereka bayangkan.

"Maafkan Alena ...," bisik Alena dengan nada berat. Tenggorokannya seperti tercekik oleh situasinya. "Alena ..."

"Ini semua salah saya!" Arlan memotong cepat kalimat Alena. Pria itu bahkan berdiri dari tempat duduknya, menatap semua orang yang ada di sana dengan penuh penyesalan.

"Alena hanya melakukan apa yang ingin dia lakukan sebagai seorang kakak, tapi saya ... saya bertindak seperti pengecut," ungkap Arlan. Kedua tangannya terkepal erat, menahan sesuatu yang terasa begitu menghimpit dadanya. Pada saat yang bersamaan, dia ingin berteriak untuk melampiaskan semuanya, namun bibirnya seperti terbungkam.

"Apa maksud kamu, Arlan?!" Tatapan kemarahan itu berasal dari Herman-ayah Arlan. Sejak kekacauan yang terjadi di pernikahan satu jam yang lalu, dia berusaha untuk meredam kemarahannya, berharap Arlan maupun Alena akan segera memberikan penjelasan. Tapi, keduanya justru hanya terdiam, membuat situasi semakin terasa mencekam.

"Aku seharusnya mengatakan hal ini sejak awal." Arlan menarik napas dalam, dia sudah membulatkan tekad untuk berkata jujur pada orang-orang yang ada di sana. "Saya dan A-"

"Kami tidak ingin menikah," potong Alena cepat. Hal itu mendapatkan tatapan yang penuh pertanyaan dari Arlan. Alena balas menatap pria itu dengan lekat. "Alasan kami membatalkan pernikahan ini adalah ..." Alena menatap pada kedua orang tua mereka, "kami mencintai orang lain."

Arlan maupun kedua orang tua mereka terenyak mendengar pengakuan tidak terduga itu dari Alena. Arlan berusaha menguasai dirinya dan menarik lengan Alena pergi dari sana. Pengakuan Alena di depan orang tua mereka membuat Arlan marah. Bukan ini yang dia inginkan.

"Apa yang kamu lakukan?!" tanya Arlan dengan nada marah yang tertahan.

Alena melepaskan genggaman tangan Arlan dari lengannya. "Aku tidak ingin kamu mengungkit nama Aletta di depan mereka. Itu hanya akan membuat mereka semakin terpukul, Arlan!"

Alena sudah cukup melukai hati orang tua mereka dengan membatalkan pernikahan ini, namun dengan menyebut nama Aletta sebagai salah satu alasan mereka batal menikah, akan semakin menyakiti hati kedua orang tua mereka.

"Lalu, kita akan terus merahasiakan ini?" tanya Arlan meradang.

Alena menatap Arlan dengan sorot mata terluka. "Lalu, kenapa kamu tidak bersedia jujur sejak awal, Arlan? Kenapa kamu membiarkan semua ini sampai menjadi seperti ini? Apa kamu tidak sadar bahwa kebohongan kamu menghancurkan hati kami semua?!" seru Alena dengan marah. Dia tidak tahan lagi untuk memendam semuanya.

Neir The SeineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang