05. Hole

141 17 0
                                    

Nyatanya, hati ini memang masih sepenuhnya milikmu...

****

Alena mengetuk pintu kamar Aletta dengan pelan. Semenjak adiknya pingsan setelah malam itu, Aletta sama sekali tidak keluar kamar. Hanya sesekali ketika saat makan malam atau sarapan. Alena merasa ada sesuatu yang berbeda dari Aletta.

Aletta segera menghapus sisa air matanya dan kembali memasukkan liontin perak yang sejak satu jam yang lalu dipandanginya ke dalam laci meja riasnya. Dia berjalan menuju pintu dan membukanya.

"Kak Alena?" Aletta mengembangkan senyum lebar saat mendapati Alena berdiri di depannya. Kakaknya itu terlihat sedang mencemaskannya.

"Boleh kakak masuk?" Pertanyaan itu dijawab anggukan oleh Aletta.

"Kamarmu sekarang terasa sangat pengap," ujar Alena berjalan ke arah ranjang. Gadis itu mendudukkan dirinya di tepi ranjang dan menatap Aletta yang masih berdiri di sisi pintu.

"Kenapa kamu masih berdiri di sana? Duduk sini!" Alena menepuk sisi kosong di sampingnya. Aletta tersenyum lantas mendudukkan dirinya di samping Alena dengan kening berkerut samar.

"Tumben kakak ke kamarku. Biasanya juga males." Aletta berujar jenaka.

Alena menghembuskan napas panjang. "Dasar!" Sebuah jitakkan ringan mendarat di kepala Aletta, membuat gadis itu berteriak protes.

"Kakak, aku bukan anak kecil lagi!" seru Aletta, kesal.

Alena terdiam. Raut wajahnya tiba-tiba berubah sendu. "Bener, kamu bukan anak kecil lagi yang gampang kakak kerjain dan kamu bukan anak kecil lagi yang selalu kakak jagain."

Aletta menautkan kedua alisnya, menatap Alena dengan bingung. "Kakak ini bicara apa sih." Aletta mencebik pelan. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah balkon kamarnya, memandangi langit malam yang dipenuhi jutaan bintang.

"Memang kadang waktu terasa berlalu begitu cepat untuk kita berdua." Terdengar desahan panjang dari bibir Aletta. Ada sesuatu yang menyakitkan kembali mengganjal dalam hatinya, seperti batu yang menyumbat dadanya, menimbulkan sesak yang perlahan memenuhi rongga hatinya.

Alena beranjak, berjalan ke arah Aletta dan berdiri disamping gadis itu. Ia menatap ke langit yang sama. Namun, sorot matanya seakan menyimpan sesuatu yang lain.

"Kamu nggak perlu memaksakan diri untuk tinggal sampai hari pernikahan kakak."

Aletta berpaling, terkejut. Ditatapnya Alena yang kini berbalik memandangnya dengan seulas senyum ringan. "Kakak nggak mau maksa kamu. Mama udah bilang semuanya ke aku, jadi jangan khawatir. Kak Alena bisa mengerti."

Aletta terdiam. Bibirnya mendadak bungkam seribu bahasa. Sesak nyatanya benar-benar mencengkram hatinya dengan sangat kuatnya.

"Meskipun kak Alena sedikit kecewa. Tapi, kakak mengerti. Kamu pasti sangat mencintainya hingga jauh darinya membuatmu sekacau ini." Alena tertawa renyah. Penjelasan yang dia dengar dari ibunya, memang sedikit membuatnya kecewa. Namun, hal itu cukup menjawab pertanyaan yang memenuhi benaknya mengenai kenapa sikap Aletta sedikit berubah saat dia pulang dari Paris.

Satu hal yang Alena pahami. Aletta merindukan seseorang di Paris. Adiknya itu meninggalkan hatinya disana.

Aletta meremas jemarinya, menahan luka yang kini berdarah di dalam hatinya mendengar penuturan itu. Dengan susah payah ia memaksakan seulas senyum.
"Ah! Aletta benar-benar malu sudah ketahuan sekarang," cebiknya pelan dengan nada jenaka.

Neir The SeineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang