18. Invitation

35 3 0
                                    

Setiap kali bel di atas pintu kafe berbunyi, Aletta akan dengan cepat mendongak, menatap ke arah pintu. Senyumnya merekah memancarkan sebuah harapan, namun lenyap seketika, kekecewaan terpancar dalam sorot matanya, menyadari bukan sosok yang sedang dia tunggu.

Aletta menggelengkan kepalanya, tak percaya dengan apa yang dia lakukan sejak tadi.

Kenapa dia mengharapkan kedatangan pria itu? Kenapa dia menjadi gelisah saat tidak melihat pria itu datang ke kafe seperti biasanya? Kenapa dia merasa kecewa ketika menatap ke arah pintu, namun yang dia dapati bukan sosoknya?

"Kau menunggu pria itu, ya?" Melihat bagaimana Aletta terus mengarahkan pandangannya ke arah pintu, sekali menebak, gadis itu tahu siapa sosok yang sedang ditunggu Aletta. Si pelanggan tampan, begitulah Oliver menyebutnya.

Aletta menjadi salah tingkah saat Oliver dengan tepat menebak apa yang sedang dilakukan oleh Aletta selama hampir dua bulan ini. Pria itu-biasanya setiap akhir pekan duduk di meja paling sudut, menatap ke arah sungai Seine-tidak lagi datang. Itulah yang membuat Aletta sering menatap ke arah pintu penuh harap setiap kali mendengar bunyi bel.

"Tidak. Aku hanya sedang menyambut pelanggan," kilah Aletta. Dia tak ingin sikapnya terlihat begitu jelas di mata Oliver, meskipun sebenarnya gerak-geriknya sangat jelas.

Terdengar kekehan pelan dari bibir Oliver. "Sungguh? Bukankah pria itu juga termasuk pelanggan?" Oliver sengaja menekan kata terakhirnya sembari menatap Aletta dengan kerlingan jahil.

Aletta mendengus. Ternyata sikapnya begitu jelas di mata Oliver. "Berhenti berpikir yang tidak-tidak!" Aletta berjalan menuju salah satu meja pelanggan yang baru datang untuk mencatat pesanan mereka, menghindari godaan Oliver lebih jauh lagi.

Sejujurnya, Aletta tidak tahu kenapa dia menunggu pria itu. Dia tidak tahu kenapa ada sesuatu yang ganjil ketika dia tidak melihat pria itu sama sekali selama dua bulan ini.

•••••

Aletta membawa langkahnya terayun dengan tenang dan tertata menyusuri sepanjang lajur trotoar. Di bagian kanannya, terbentang jalanan kota Paris. Beberapa bangunan bertingkat dengan arsitektur klasik, menjadi bagian dari pemandangan yang dia lihat tiap kali menuju perpustakaan. Tinggal beberapa langkah, Aletta bisa melihat gedung perpustakaan mulai terlihat di ujung tikungan jalan.

Bentuk bangunannya seukuran gereja atau pasar swalayan kecil. Fasadnya dari batu, sewarna dengan pilar-pilarnya, pintu kayu besar di tengah-tengah dan atap yang memberi kesan megah, dengan detail-detail rumit dan jam berpenampilan spektakuler di atap pelana depan, dengan angka-angka Romawi yang dicat hitam. Jendelanya tinggi berwarna agak gelap dan melengkung, dibingkai batu bata, menonjolkan tembok depan, berjarak sama antara satu dengan yang lain.

Aletta memasuki perpustakaan, aroma buku melesak masuk ke dalam hidungnya. Bukan aroma buku tua yang usang dengan debu menempel setebal beberapa senti, hanya sebuah aroma yang lebih mirip hujan pertama setelah musim panas yang panjang dan Aletta menyukai itu. Seperti menghipnotis dirinya dan membuat perasaannya menjadi sedikit tenang.

Aletta berjalan menyusuri rak yang berjejer rapi, rak-rak penuh dengan berbagai macam buku itu seperti menjulang hingga ke langit-langit. Selama beberapa menit, dia hanya sibuk memperhatikan deretan buku dengan sampul berbagai warna. Sampai akhirnya manik coklat kembarnya berhenti pada salah satu buku yang berada diantara deretan buku lainnya. Entah kenapa tampilannya yang tidak terlalu mencolok itu seolah menjadi penanda bahwa buku itu berbeda dari yang lainnya.

Ketika Aletta mengeluarkan buku itu, sebuah judul tebal yang tercetak di depan halamannya, membuat kening Aletta berkerut samar. Dia merasakan sebuah de javu saat membaca judul buku tersebut.

Neir The SeineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang