17. Hello, Again

34 4 0
                                    

Aletta mengerutkan hidungnya yang tersumbat. Berjalan menuju dapur lalu mengeluarkan roti tawar dan selai cokelat hazel kesukaannya. Menarik kursi panjang di meja dapur, meletakkan pantatnya di sana sembari mengembuskan napas panjang.

"Aku baik-baik saja." Aletta nyaris berteriak pada seseorang di seberang telepon. Ia merasa kesal karena harus mengulang jawaban yang sama sebanyak sepuluh kali.

Ini adalah panggilan ke tiga kalinya sejak satu jam yang lalu. Saat ini pukul sepuluh pagi, Liam sudah merecokinya hanya karena mendengar dari Carol bahwa dirinya terserang flu sejak semalam. Akibatnya, Aletta harus menerima kalimat panjang lebar Liam di seberang telepon yang sedang bertanya apa saja yang dia rasakan, lalu menyebutkan daftar nama obat yang bisa menurunkan demam, dan makanan yang harus dia makan untuk meredakan flu.

"Ku bilang aku baik-baik saja. Aku hanya kehujanan dua hari yang lalu. Aku masih bisa bangun dari tempat tidur. Carol menipumu," sungut Aletta. Dia memasukkan dua lembar roti tawar ke pemanggang elektrik. Menunggu semenit sebelum bunyi 'klik' terdengar. Aletta memindah roti panggangnya ke atas piring.

"Jangan berlebihan, Liam. Aku baik-baik saja. Kau bisa lanjutkan pekerjaanmu." Aletta kembali duduk di kursi dapur, mulai mengoleskan rotinya dengan cokelat.

Dalam hati, Aletta tak hentinya mencaci Carol. Jika saja gadis itu tidak mengadu pada Liam, mungkin dia tidak perlu harus mendengarkan omelan panjang Liam. Dia tahu pria itu sangat mengkhawatirkannya, ini adalah bentuk perhatian Liam padanya. Jadi, seharusnya Aletta senang dengan hal itu, karena berarti Liam sangat peduli padanya. Tapi memang dasar Aletta yang tidak terlalu suka jika diberikan perhatian berlebihan hanya karena hal-hal kecil.

"Jangan lupa minum obatmu setelah makan. Aku akan ke sana setelah pekerjaanku selesai. Apa kau ingin menitip sesuatu saat aku ke sana?"

Aletta nampak berpikir sejenak. "Tidak ada. Kau cukup datang saja. Mungkin aku akan baik-baik saja jika melihatmu." Aletta berujar dengan nada jenaka. Berharap omelan Liam sedikit melonggar padanya. Pria itu terkadang terlalu berlebihan merespon sesuatu jika berkaitan dengan dirinya.

"Meskipun kau mengatakan itu, aku tidak bisa melunak. Makan supnya saat masih panas. Jangan biarkan supnya dingin. Kau sering melupakan supmu. Saat sehat saja kau sering lupa makan, apalagi sakit seperti ini."

Aletta memutar kedua bola matanya. Liam sudah seperti ibu-ibu cerewet pada anak gadisnya yang hendak menghadiri acara penting namun tiba-tiba jatuh sakit keesokan harinya.

"Aku tahu, bahkan anak SD juga tahu itu," tukas Aletta. Ia menggigit rotinya dengan kesal.

"Tapi kau tidak. Jika sudah asik dengan bacaanmu, kau bisa melupakan banyak hal, termasuk makan." Kalimat Liam kembali membuat Aletta mendengus pelan.

Pria itu benar-benar seolah lebih mengenal Aletta dari pada dirinya sendiri.

•••••

Aletta temenung di balik meja kasir saat seseorang yang tidak asing itu memasuki kafe. Pria itu mengambil tempat di sudut, meja dekat jendela yang menghadap langsung ke sungai Seine. Gadis itu melengos. Membuang pandangan ke arah lain ketika mata pria itu mengarah padanya. Meski dia tidak yakin karena yang sedang berdiri di balik meja kasir bukan hanya dirinya.

"Aletta," panggil Oliver di dekatnya. Colekan di pundak Aletta seketika membuat gadis itu terenyak.

"Ya?" Aletta menatap Oliver bertanya.

Gadis bersurai pirang itu mengarahkan dagunya ke arah tempat pria tadi duduk.

Aletta mengerjapkan matanya pelan. "Oh!" Aletta merutuki dirinya yang tiba-tiba menjadi canggung dan kikuk hanya karena menghadapi seorang pelanggan.

Neir The SeineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang