06. Denial

125 13 0
                                    

Aletta memulai harinya seperti biasanya, seolah tak pernah terjadi apapun dalam hidupnya. Aletta menjalani rutinitasnya sebagai mahasiswi normal lainnya, pergi bekerja ke kedai kopi bibi Courtney seperti sebelumnya. Seakan dia tidak pernah pulang ke Indonesia dan bertemu dengan Arlan ataupun mendengar kabar tentang pernikahan pria itu dengan kakak perempuannya. Bahkan Aletta menyibukkan dirinya dengan memasak dan menonton film di sela-sela waktu kosongnya. Padahal biasanya gadis itu memilih untuk tidur di rumah.

Dari semua hal yang terlihat normal itu, Carol justru merasa sebaliknya. Dia seperti melihat Aletta yang tidak biasanya. Sejak kepulangannya dari Indonesia seminggu yang lalu, Carol untuk pertama kalinya melihat Aletta pergi makan di luar dengan beberapa teman yang sebenarnya tidak dekat dengannya, lalu menerima ajakan salah satu teman prianya untuk menonton film.

"Kenapa? Kau baru saja melihat alien turun dari bumi?" Aletta melirik Carol yang sedang duduk di atas sofa. Gadis itu terus menatapnya yang sedang menonton tayangan kartun di televisi sejak satu jam yang lalu dengan tatapan anehnya.

Carol mendesis. "Apa terjadi sesuatu selama kau di Indonesia?" tanya Carol memandang Aletta dengan seksama. "Kau bilang kakakmu akan menikah akhir musim semi ini, bukan? Tapi, tidakkah kau kembali terlalu cepat bahkan sebelum akhir musim semi? Aneh sekali ..." Carol seketika merasa yakin bahwa ada yang tidak beres dari teman satu rumahnya itu. Dia tidak pernah meragukan kemampuannya sebagai seorang psikolog.

Aletta mendengus pelan. "Kau mulai lagi menganggap ku sebagai pasien. Aku muak dengan spekulasi mu." Aletta mematikan televisinya. Beralih memainkan ponselnya sembari membaringkan tubuhnya di atas sofa.

Carol memicingkan kedua matanya. "Kau memang pasienku di saat seperti ini." Carol bangkit dari duduknya, dia bergerak mendekati Aletta yang sibuk dengan ponselnya.

"Apa kau ... baru saja bertemu dengan mantan kekasih mu, atau ..."

"Berhenti berpikiran tidak masuk akal," sambar Aletta, kesal.

Carol berdecak pelan. "Kalau begitu, jujur padaku apa yang terjadi. Kau sama sekali tidak bercerita padaku sejak kau kembali dari Indonesia. Aneh sekali." Carol menggelengkan kepalanya. Dia sangat yakin bahwa telah terjadi sesuatu selama Aletta pulang ke Indonesia. Hanya saja, gadis itu terlalu jumawa dan bersikap keras kepala untuk bercerita padanya.

Kedua mata Aletta sempat membulat sejenak. Ada saat dimana dia membenci Carol karena kepekaannya terhadap dirinya sebagai seorang psikolog. Kadang pula, gadis itu memperlakukan dirinya seperti pasiennya yang memiliki gangguan mental. Menyebalkan sekali.

"Aku hanya sedih karena kakakku sudah menikah. Lagi pula, aku mengikuti semua saranmu untuk melakukan ini dan itu supaya aku tampak seperti manusia normal." Aletta berujar dengan nada enteng. "Lantas, kenapa sekarang kau berkata bahwa aku aneh. Menyebalkan sekali."

Carol menganggukkan kepalanya dua kali. "Itu memang benar. Aku menyuruhmu seperti itu, tapi entah kenapa rasanya aneh saja melihat mu tiba-tiba pergi makan di luar bersama teman-teman yang berbeda jurusan denganmu. Setahuku, kau bahkan sama sekali tidak dekat dengan teman satu jurusanmu. Dan lagi, kau pergi menonton film dengan seorang pria." Carol memekik dengan nada tidak percaya. "Kau benar-benar di luar dugaanku. Aku memberikan mu saran untuk berkencan, tapi bukan dengan sembarang pria."

Aletta sama sekali tidak menanggapi celotehan panjang Carol yang berlebihan seperti Ibunya. Aletta masih tampak tenang dan sama sekali tidak terpengaruhi.

"Dia teman satu fakultas denganku. Bukan pria sembarangan." Aletta membalas.

Carol menarik salah satu tangan Aletta, memintanya untuk fokus padanya. "Katakan sekarang, apa yang terjadi padamu di Indonesia?!" Tatapan tegas dari Carol membuat Aletta menghembuskan napas berat. Rasanya percuma saja menyembunyikan banyak hal dari Carol. Teman satu rumahnya itu terlalu teliti dan peka dengan sekitarnya.

Neir The SeineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang