Wangsadinata: The History

195 29 0
                                    

⚠️ SENSITIVE CONTENT ⚠️

// racism, anti-chinese, 1998 incidents, minor mention of death, graphic violence.


Early warning untuk kalian yang mungkin kurang berkenan dengan isu sosial-politik, terutama kejadian rasisme menyangkutpautkan ras di Indonesia, I AM SO SORRY for bringing this issue up for this chapter's story. Untuk yang kurang berkenan, atau ada post-traumatic dengan isu rasisme, peristiwa 1998, dan kesenjangan sosial-politik sangat diperbolehkan untuk tidak lanjut membaca chapter ini.

CERITA HANYA KARANGAN DAN FIKTIF BELAKA, TERLEPAS DARI ISU YANG DIANGKAT, CERITA INI MURNI HANYA IMAJINASI PENULIS.

Thank you 🙏🏼

BEWARE: Long part, almost 3000 words!


—Bobby Aditama

Gue ingat saat pertama kali menginjakkan kaki di pelataran rumah berdesain lama, atap rendah, serta pekarangan luas tertutup rumput pendek ini. Saat turun dari sedan tua yang membawa gue dari bandara ke rumah kakek, hal pertama yang gue lihat adalah sosok anak laki-laki kurus dengan kacamata oval warna kuning.

Anak laki-laki yang memakai kaos hijau berkerah itu memandang lurus dan tampak kaku ke arah gue dan keluarga, sedangkan di tangannya menggenggam sebuah toples. Gue menghampirinya dengan dituntun oleh nyokap. Awalnya malu-malu, namun setelahnya gue mencoba tersenyum padanya.

"Adi, ini sepupu kamu. Ayo kenalan."

Nyokap bilang ke gue beberapa hari sebelum keberangkatan, katanya gue punya banyak sepupu. Tapi alih-alih memikirkan berapa banyak sepupu yang akan gue temui di Jakarta, justru gue khawatir dengan teman-teman di Virginia yang hendak gue tinggalkan. Jadi, saat itu gue tidak pernah peduli.

"Hai!"

Saat gue menyapanya pertama kali, dia langsung lari. It wasn't like I'm looking like a total gangsta something, tapi samar gue dengar dari teras, dia lari ke nyokapnya untuk mengatakan sesuatu. "Ma, kakak dari Amerika datang. Aku enggak bisa bahasa Inggris,"

Gue menarik baju belakang nyokap pelan sembari bersembunyi di sana, sementara Bang Jerard dan bokap sudah lebih dulu masuk rumah bersama dengan koper-koper kami. Kakek menyambut, gue lihat anak laki-laki itu ada di belakang beliau.

Sempat gue bertanya pada bokap, kenapa kita harus pindah ke Jakarta dan meninggalkan semua yang ada di Virginia. Jawaban yang gue dapat adalah, "Karena rumah kita di Jakarta."

Jika rumah berarti tempat tinggal, lalu apa bedanya dengan rumah di Virginia? Gue yang saat itu masih berusia tujuh, sama sekali tidak paham dengan konsep rumah yang dikatakan bokap. Pun juga gue tidak paham dengan nyokap yang memaksa gue untuk berkenalan dengan anak laki-laki yang bahkan sampai sekarang masih bersembunyi di belakang kakek. Gimana gue mau kenalan kalau dia hanya sembunyi?

"Ha ... Hans," katanya gugup setelah dipaksa nyokapnya untuk berkenalan dengan gue dan Bang Jerard. Dengan begitu, Hans menjadi sepupu yang pertama kali gue kenal.

Belakangan gue tahu, setelah beberapa bulan kepindahan gue ke Jakarta, ternyata memang ada beberapa sepupu lain berdatangan, satu persatu, sedikit demi sedikit keluarga ini menjadi keluarga besar yang sebenarnya. 

Hans bilang mereka semua asli Jakarta, hanya saja karena satu alasan keamanan, mereka harus pindah dan tinggal sementara di kota lain. Tapi, kata Hans ada satu keluarga yang tidak kembali ke Jakarta dan menetap di kota yang mereka tinggali sekarang. Hans bilang, keluarga yang di Surabaya tidak kembali ke Jakarta kecuali saat liburan atau hari raya, karena mereka punya pabrik dan harus mengurusnya di sana.

THE WANGSADINATAS (WINKON - Alternative Universe)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang