Lima

996 93 1
                                    

"I just wanna get to know you better." — Fais, Know You Better


HARI ini berangkat sekolah diantar Papa. Motorku terpaksa kupinjamkan ke Papa karena mobil yang biasa dia pakai berangkat ke kantor lagi di bengkel, ada kerusakan mesin yang membuat mobil mogok nggak mau jalan. Bukan hal yang menyebalkan, aku nggak mungkin mengeluh untuk hal ini karena biar gimana juga motor itu hasil kerja keras Papa.

Papa menurunkanku tepat di depan gerbang sekolah. Saat aku turun, saat itu juga Farhan dengan motor kerennya masuk ke halaman sekolah. Mataku mengikuti sosoknya sampai ke tempat parkir. Aku mengerjapkan mata, kagum, melihat wajahnya yang putih segar ketika dia membuka helm. Oh God, ketampanannya selalu bisa membuat jantung ini berdebar kencang. Apalagi Farhan agak mengibaskan rambutnya ketika melepas helm. Oh, aku suka sekali dengan gerakannya yang seksi itu.

"Papa berangkat, Din," suara Papa membuyarkan fantasiku. Aku mengangguk dan mencium tangannya sebelum dia pergi.

Saat aku menoleh ke parkiran lagi, Farhan sudah menghilang. Kubuang napas keras-keras, kecewa. Sepertinya aku harus mulai mengambil langkah untuk mendekatinya. Tapi harus mulai dari mana?

Setelah kejadian di lorong sekolah waktu itu, aku jadi terobsesi, percaya diri, dan yakin bahwa aku bisa memulai pertemanan dengan Farhan. Walaupun kejadiannya sudah seminggu yang lalu, tapi masih belum bisa kulupakan saat-saat dia memegang lenganku, saat dia membantuku berdiri, saat dia tersenyum padaku untuk yang pertama kali. Dan, urgh yeah, terlalu banyak hal menyenangkan yang terjadi di lorong itu.

Setelah kejadian itu, sikap Farhan juga jadi lebih lunak. Kalau biasanya dia nggak peduli dengan kehadiranku, akhir-akhir ini dia hampir nggak pernah mengabaikanku. Beberapa hari terakhir ini kami sering bertemu secara nggak sengaja. Entah itu di kantin, di ruang guru, di tempat parkir, atau bahkan di kamar mandi. Aku nggak pernah merencanakan apa pun untuk bertemu dengannya. Pertemuan kami murni karena keenggaksengajaan. Bagusnya, setiap kali kami bertemu Farhan nggak pernah lupa meninggalkan satu senyum terbaiknya untukku. Ini alasan yang membuatku berpikir untuk mulai mendekatinya. Dia seperti memberi lampu kuning, bahwa dia juga ingin berteman denganku—tapi masih harus hati-hati. Entah dapat tebakan ini dari mana, aku hanya dapat merasakannya.

"Dino!" Seseorang memanggilku ketika aku jalan menuju kelas. Aku berbalik dan mendapati Lendra setengah berlari ke arahku. "Mumpung ketemu di sini, ada yang mau gue omongin," katanya, sedikit ngos-ngosan.

"Apa?"

"Pulang sekolah ada acara?"

Aku mengingat-ingat sebentar. "Nggak tuh, kenapa?"

"Temenin gue, yuk?"

"Ke mana?"

"Ke CP, ada yang mau gue beli." CP adalah salah satu mal terkenal di kota ini.

"Boleh, sih," jawabku. Lalu, aku teringat sesuatu. "Eh, tapi gue nggak bawa motor."

"Ah gampang, bareng gue aja. Nanti pulang gue anterin. Kalau mau, lo boleh ajak Bimo sama Egy biar sekalian kita hangout."

"Oke deh," jawabku, tersenyum.

"Bagus," katanya, mengacungkan jempol. "Pulang sekolah gue tunggu di parkiran."

Aku mengangguk, dan setelahnya dia berlari meninggalkanku.

Sungguh, Lendra jadi lebih akrab denganku setelah dia curhat tentang masalah keluarga dan isi hatinya. Aku merasa, Lendra yang sekarang bukanlah Lendra yang dulu: sedih, tertutup, suka cari masalah, brutal, dan nggak terkendali. Sekarang dia jadi lebih terbuka, lebih akrab, lebih mau menceritakan apapun hal yang menurutnya nggak bisa diselesaikannya sendiri. Aku lega, seenggaknya dia sudah benar-benar berubah sekarang.

Kamu & Aku #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang