Tujuh

897 90 3
                                    

"Don't even know you but I can't get you out of my mind." — Monsune, Outta My Mind


ALARM di atas meja berbunyi keras mengejutkanku. Setengah sadar, tanganku menggapai-gapai di sekitar kasur, mencari-cari hape. Ini memang sudah kegiatan rutin, setiap bangun tidur yang pertama aku cari adalah hape. Ada tiga WA masuk dan lima panggilan nggak terjawab dari Dea. Ternyata tadi malam adikku minta jemput di MBK, tapi aku sudah tidur.

Tadi malam aku tidur sekitar pukul 7 lebih 30 menit. Setelah pulang dari belanja barang-barang buat kemah, aku langsung tepar di kasur dan kemudian tidur dengan lelapnya sampai baru bangun pagi ini. Aku bahkan nggak sadar masih pakai jaket dan sepatuku. Kemarin benar-benar hari yang melelahkan.

"Dino, bangun! Udah pagi, ayo sarapan, nanti kamu telat berangkat sekolah!" Mama berteriak sambil menggedor-gedor pintu kamar yang tadi malam memang sempat kukunci sebelum tidur. "Dino! Buka pintunya! Ayo, bangun!" Gedoran demi gedoran, ditambah suara Mama yang cempreng dan melengking, memaksa aku bangun dari kasur dan membuka pintu.

"Iya aku udah bangun," kataku malas-malasan, dan menguap keras.

"Ya ampun!" Mama memperhatikanku dari atas ke bawah. Mungkin dia heran melihat pakaianku yang tadi malam masih belum diganti. "Kamu nggak ganti baju dulu sebelum tidur?"

Aku melepas sepatu dan meletakkannya di samping pintu. "Semalam ngantuk banget, nggak sempat ganti baju, Ma." Aku jalan malas-malasan ke dapur. Mama mengekor di belakang.

Di dapur sudah ada Papa dan Dea yang lagi sarapan, bahkan piring makan Dea sudah kosong. Apakah aku bangun kesiangan, atau mereka yang kepagian?

"Kamu itu bangun kesiangan terus," ujar Papa, seolah bisa membaca pikiranku. "Kamu pasang alarm nggak?"

Aku mengacak rambut dan duduk di kursi. "Pasang kok Pa, tapi aku ngantuk banget, jadi kebablasan tidur sampai bangun jam segini."

"Kamu mau sekolah apa nggak? Udah jam berapa ini? Belum mandi, belum ganti seragam, belum sarapan. Kamu ini bener-bener ya, Dino!" Mama mengomeliku.

Aku menguap keras sekali lagi, "Nggak sekolah dulu deh Ma, badanku lagi nggak enak banget."

Mama menaruh punggung tangannya di keningku. "Tapi badan kamu nggak panas."

"Iya, tapi aku ngerasa capek banget hari ini." Alasanku.

"Ya udah, kalau gitu biar nanti Mama telepon wali kelas kamu," tukas Mama, kemudian sibuk membereskan piring-piring di meja makan. Di rumah kami memang nggak ada asisten rumah tangga. Semua kerjaan rumah dilakukan oleh Mama sendiri—dan kadang-kadang juga dibantu Dea. "Kamu sarapan dulu gih, abis itu minum obat dan istirahat."

Aku tersenyum, bangga punya orangtua yang baik hati dan perhatian kayak mamaku. Beliau memang wanita yang paling aku sayang di dunia ini. Dia selalu memanjakan aku dan Dea, tapi bisa dibilang akulah yang paling dekat dengan Mama. Selain sahabat-sahabatku, Mama juga sering kujadikan teman curhatku. Aku selalu menceritakan masalahku ke Mama, dialah orang yang paling sering aku ajak cerita ketika aku sudah nggak bisa lagi menyelesaikan masalahku sendiri. Mama akan selalu memberikan nasihat yang bijaksana dan dia nggak pernah membuatku kecewa.

Aku belum dan nggak mau membayangkan bagaimana kalau suatu hari nanti Mama tahu aku gay? Pasti itu akan membuatnya terluka. Mama sering kali menanyakan apakah aku lagi dekat dengan seorang gadis? Tapi aku selalu menjawab: nggak. Mama memang nggak pernah melarangku untuk pacaran, yang penting bisa jaga diri dan nggak melanggar batas. Tapi, apakah Mama juga nggak melarang aku mencintai seorang cowok? Aku beneran nggak mau Mama tahu siapa diriku sebenarnya, karena kalau dia tahu aku gay, mungkin dia bakal kecewa banget dan nggak akan pernah menganggapku sebagai anaknya. Dan yang terburuk, mungkin dia akan berharap aku nggak pernah dilahirkan. Pikiran-pikiran menakutkan inilah yang selalu membuatku resah.

Kamu & Aku #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang