Enam

960 94 3
                                    

"Well you look like yourself, but you're somebody else." — Flora Cash, You're Somebody Else


FARHAN benar-benar membuktikan omongannya kemarin siang di perpustakaan. Dia datang menghampiriku yang lagi duduk di salah satu kursi di pojok ruang perpustakaan. Aku berharap pertemuan ini bukan cuma sekadar meminjamkan buku, tapi juga tahap bagiku untuk mulai mendekatinya.

"Hai," sapanya saat berada di depanku. "Nih tugasnya," dia menyerahkan bukunya. Aku langsung mengambilnya tanpa ragu.

"Thanks, ya," ucapku, sambil melihat-lihat isi buku tersebut. Tulisan Farhan bagus juga. Tugas Kimia ini memang harus ditulis pakai tangan, nggak boleh pakai bantuan komputer.

Farhan mengambil kursi dari meja sebelah, lalu duduk di hadapanku. "Lo mau ngerjain sekarang?"

Aku mengangguk, lalu menyiapkan buku dan pena.

"Tapi ini udah pulang sekolah, perpustakaan bentar lagi tutup."

"Nggak apa-apa, sebentar aja. Paling setengah jam lagi tutup. Miss Tia pasti bakal ngabarin kita kalau dia mau tutup perpus. Tuh, dia aja masih asik baca buku di mejanya," aku mengedikkan dagu ke meja Miss Tia di dekat pintu masuk. Miss Tia adalah pustakawati sekolah kami, dan kadang-kadang juga dia mengajar Bahasa Inggris kalau guru Bahasa Inggris lagi berhalangan masuk hari itu.

Farhan mengangguk mengerti.

Katika aku mulai nulis, kegugupan menghinggapiku. Gimana aku bisa konsentrasi kalau Farhan masih ada di hadapanku? Dan dia bahkan memperhatikanku. Urgh, pipiku panas.

"Eh iya, lo sama Retno udah nggak berantem lagi, kan?"

Aku menggeleng. "Nggak. Gue sih asal dia nggak gangguin gue, gue juga nggak bakal gangguin dia. Gitu aja sih simpelnya."

"Kemarin dia gangguin lo, ya?"

Aku mengiyakan pertanyaannya.

"Sorry ya kemarin gue jadi sok pahlawan belain dia dan malah bentak lo. Dia sepupu gue yang dari ibu. Bapaknya dia oom gue. Kemarin gue emang lagi kesel sih lihat Retno nangis begitu, tapi sebenarnya gue juga nggak enak bentak-bentak lo."

Aku nggak mengacuhkan ceritanya dan pura-pura sibuk nulis. Sebenarnya aku suka ngobrol banyak hal dengan Farhan, tapi untuk bahas masalah Retno dan silsilah keluarganya, ogah deh. Farhan akhirnya diam setelah mungkin menyadari ceritanya nggak mendapat respons apa pun dariku. Syukurlah.

Lalu gugup kembali menyerangku ketika tanpa sengaja mataku dan mata Farhan bertemu selama beberapa detik. Aku langsung menundukkan kepala dan kembali menulis, walau sebenarnya gugup ini masih belum bisa aku handle dengan baik. Kufokuskan mataku ke buku, walau sebenarnya ingin sekali melihat Farhan dan memandangi wajah gantengnya sepuasku. Tapi, aaaaargh, sudahlah! Aku harus fokus ke tugas ini. Farhan benar-benar cobaan terberatku saat ini.

Nyatanya, sekuat apa pun aku berusaha untuk kembali fokus ke buku, tetap nggak bisa. Gugup, degg-deggan, dan perasaan aneh seperti ingin menciumnya tetap saja menyerangku selama Farhan masih ada di depanku. Oke, mungkin aku harus menyuruhnya pergi supaya aku bisa mengerjakan tugas dengan tenang. Tapi aku nggak mungkin melakukan itu, kan? Jahat banget dan menyinggung perasaannya kalau aku beneran ngusir dia.

Atau, aku bisa menyingkir dari sini dan mengerjakan tugas di meja lain. Tapi aku nggak mau pergi dari sini. Aku suka berada di dekat Farhan, apalagi dengan jarak sedekat ini yang hanya dipisahkan oleh meja. Aku suka aroma parfumnya yang menyegarkan. Aku memang gugup, tapi bukan berarti nggak suka dengan kehadirannya.

"Tulisan lo bagus juga," komentarnya tiba-tiba. Ternyata dia memang memperhatikanku menulis.

"Tulisan kayak cacing kepanasan gini lo bilang bagus? Buta lo!" kataku sambil tertawa.

Kamu & Aku #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang