Empat

1K 106 6
                                    

"Is it too much to ask?" — Niall Horan, Too Much To Ask


"DINO tolongin Mama lagi dong, ke sini sebentar!" teriak Mama dengan suaranya yang melengking nyaring.

"Aduuuh, apa lagi, sih?" keluhku sambil menutup kepala dengan bantal. Mamaku itu nyebelin! Dari tadi nyuruh aku melulu. Tadi aku disuruh belanja ke pasar, bolak-balik ke Indomaret, pulang-pergi ke rumah tetangga, mengatur dekorasi ruang tamu, dan melakukan banyak hal sibuk lainnya. Sekarang, belum ada istirahat sepuluh menit sudah dipanggil lagi! Huh!

"Mama butuh kamu buat masang ini di langit-langit!" teriak Mama lagi dari arah ruang tamu. Walaupun kamarku terletak di lantai dua dan agak jauh dari ruang tamu, tapi suara Mama yang cempreng dan lantang itu masih kedengaran juga!

"Males Ma, aku mau tidur!" Kurapatkan bantal ke telinga untuk meredam teriakan Mama. Aku ngantuk pakek banget, kepingin istirahat sebentar, tapi Mama masih terus manggil-manggil.

"Ayolah, Dino ... cuma kamu yang bisa masang ini!" Kali ini suaranya penuh emosi. Sepertinya Mama sudah kesal dengan sikapku yang ogah-ogahan, sampai dia berteriak lagi, "Dino cepetan!!! Sebentar aja pasangin ini!!!"

Daripada dia tambah emosi dan malah naik ke kamar lalu memukulku, jadi aku bangun. Males sih, tapi mau gimana lagi? Mama butuh bantuanku, dan aku nggak bisa menolaknya. Lagi pula, nggak ada orang lain yang bisa dimintai tolong, cuma aku satu-satunya anak lelaki Mama, jadi aku yang paling bisa diandalkan. "Iya iya aku keluar."

"Ini kamu pasang di atas ya, dibuat melengkung, jangan datar." Mama langsung memberi instruksi begitu aku sampai di bawah. Ternyata aku harus memasang pita besar berbentuk bunga mawar ke atas langit-langit.

Di depanku sudah ada meja, dan di atas meja itu ada kursi kayu yang akan kugunakan untuk memasang pita besar ini. Pelan-pelan dan hati-hati, aku menaiki meja dan kursi itu. "Pegang yang kuat, Ma." Aku berkata sambil berusaha menggapai langit-langit, kemudian langsung melakukan apa yang Mama perintahkan. Pitanya aku buat agak melengkung. Terakhir, kutancapkan paku supaya pitanya nggak jatuh. Aku melakukannya dengan cepat, dan nggak lama kemudian aku sudah menginjak lantai lagi.

"Makasih, Sayang," ucap Mama, halus dan lembut. Dasar! Baik kalau ada maunya aja!

"Aku pulang ...," tanpa permisi, tanpa mengucapkan salam, dan tanpa mengetuk pintu lebih dulu, Dea nyelonong masuk ke dalam rumah. Sepertinya dia baru selesai main basket. Keringat membanjiri baju basket tanpa lengannya. "Hai, Ma. Hai, Kak."

"Dari mana kamu jam segini baru pulang? Bukannya bantuin, malah keluyuran!" kataku, jutek sendiri. Mama benar-benar nggak adil! Aku nggak boleh ke mana-mana karena harus membantunya mengurus segala macam persiapan, tapi Dea bebas keluyuran tanpa larangan!

"Main basket—Mama juga udah tahu, kok. Kenapa? Kok kamu yang sewot?" Dea menjulurkan lidahnya. Lebih bagus kalau lidah panjangnya itu dipotong! Punya adik perempuan kok kurang ajarnya kebangetan!

"Sudah sudah," Mama angkat bicara sebelum aku dan Dea saling mengejek. "Dea, kamu mandi dulu sana, abis itu bantu Mama potongin kue." Dea lari masuk ke kamarnya. Aku masih berdiri di samping Mama, menunggu apakah dia masih perlu bantuanku? "Kalau kamu mau tidur, ya tidur aja. Nanti sore kita semua harus udah siap-siap."

Nanti malam di rumah ini akan diselenggarakan acara syukuran peresmian toko baru Papa yang kelima. Seperti yang pernah kuceritakan, papaku itu seorang wirausaha yang—Alhamdulillah, ya—sampai sekarang sudah punya empat toko cabang dan satu toko pusat di kota ini. Kami sekeluarga berniat mengadakan acara pengajian bersama anak-anak yatim-piatu sebagai bentuk rasa syukur kami kepada Allah SWT karena rezeki yang telah Dia berikan kepada keluarga kami.

Kamu & Aku #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang