Sebelas

749 77 3
                                    

"Let's keep dancing on the broken glass." — Kygo and Kim Petras, Broken Glass


PAGI ini aku bangun dengan hati berbunga-bunga karena setelah selesai ngobrol, tadi malam aku dan Farhan berbaring sambil memandangi langit berbintang ditemani lagu Thinking Out Loud yang sengaja kuputar dari handphone. Kami nggak bicara, cuma memandang ke sana, dan suasananya benar-benar menenangkan. Memandangi langit bersama Farhan jauh lebih berkesan daripada ngobrol bahas cinta-cintaan.

Farhan berada di bagian lain lapangan ketika pagi itu kuperhatikan dia dari kejauhan. Dia terlihat sedang melakukan sesuatu bersama teman-temannya yang tampaknya juga anggota OSIS. Sepertinya penting, sebab dia terlihat serius ketika bekerjasama dengan teman-temannya.

"Lo ngelihatin si Farhan?" Tiba-tiba Lendra berada di sampingku. Dia mengikuti arah pandanganku.

Aku mengiyakan pertanyaannya. "Tadi malam dia ke sini, ngobrol banyak hal sama gue di sini."

"Oh," katanya. "Emang si Farhan itu gimana, sih? Asik nggak?"

Aku tersenyum. Baru kali ini ada orang lain menanyakan pendapatku tentang Farhan. "Dia ramah, mudah bergaul, nggak sombong, berprestasi, dan famous."

"Famous?"

"Yah," jawabku. "Dia ganteng, baik, pintar, dan udah pasti banyak yang naksir sama dia." Antara sadar dan nggak sadar aku menggumamkan ini.

"Kayaknya lo tahu banyak hal tentang dia, ya?"

Aku tersenyum sambil menggeleng. Mengagumi sosok Farhan yang sempurna, sudah lebih dari enam bulan lamanya kusimpan rasa suka ini, dan nyaris semua hal tentangnya sudah kuketahui! Cuma satu yang belum aku tahu, yaitu ukuran kelaminnya. Huahahahahahahaha.

"Kalau menurut lo, gue ini gimana orangnya?" tanya Lendra.

Aku menggeleng. "Kita udah kenal sejak lama, Lend, kenapa baru sekarang lo nanya pendapat gue tentang lo? Harusnya lo bisa nilai sendiri sikap gue ke lo gimana."

"Tapi gue pingin dengar langsung dari mulut lo."

"Lo itu anaknya susah ditebak dan ... sedikit berbahaya."

"Berbahaya gimana maksudnya?"

Kubuang napas, berat. "Karena apa yang lo lakuin selama ini—kabur-kaburan, cabut-cabutan, dan melakukan tindakan bodoh lainnya. Tapi justru karena bahaya itu lo jadi punya karakter sendiri."

Lendra mendesah berat. "Kayaknya memang susah ya memperbaiki semuanya dari awal. Imej gue jadi rusak karena tindakan bodoh gue sendiri. Beberapa anak di kelas bahkan mulai ngomongin keburukan-keburukan gue selama cabut dari sekolah. Dan mereka selalu menatap gue seolah-olah gue ini orang asing, padahal kenyataannya gue ini teman sekelas mereka."

"Bukannya tadi malam lo gabung sama mereka, ya? Lo kelihatan happy waktu gitaran bareng mereka."

"Sebagian anak masih nganggap gue sebagai teman mereka, tapi sebagian yang lain agak kurang berdiplomasi. Tadi malam kita emang gitaran, gue happy karena masih bisa gitaran dan nyanyi bareng teman-teman yang masih mau nerima gue di kelas. Tapi kebanyakan anak-anak di kelas nggak bisa nerima gue lagi. Menurut mereka gue berbahaya—sama kayak yang lo bilang tadi. Cara mereka menatap gue seolah-olah gue ini penjahat kelas kakap. Mungkin di mata mereka gue ini cuma penjahat."

"Itu jahat banget! Nggak seharusnya mereka menilai lo kayak gitu!"

"Itu bukan bagian yang terburuk, Din," lanjutnya. "Beberapa anak juga udah mulai nyebar gosip kalau gue ini pemakai narkoba. Nggak tahu siapa yang mulai, tapi kebanyakan orang di kelas udah dengar ceritanya. Sebagian ada yang nggak percaya, tapi sulit untuk nggak memercayai hal yang sudah banyak digosipin orang-orang. Bahkan ada yang mulai isu gue kena AIDS karena sering melakukan seks bebas dan jarum suntik." Lendra mengusap muka dan rambutnya, tampak kesal.

Kamu & Aku #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang